Aksi-aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah
Indonesia tidak hanya menimbulkan korban
jiwa dan kerusakan sarana fisik, tetapi juga rusaknya citra bangsa dan umat
Islam Indonesia. Mereka yang tidak menyukai Islam semakin keras meyuarakan kebencian dan stigmatisasi bahwa
Islam adalah agama teroris. Lebih dari itu, mereka yang tidak memahami Islam di
Indonesia dengan mudah menuduh lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya
pesantren dan madrasah sebagai sarang
teroris.
Para
pengamat barat menuding bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia digerakan oleh
jaringan terorisme al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) yang basisnya berada di
pesantren tertentu di Indonesia. Beberapa pelaku yang terbukti terlibat baik
langsung maupun tidak langsung dalam aksi-aksi terorisme memang pernah belajar
di pesantren tertentu. Dengan dalih itulah, muncul kesimpulan yang biasa, bahwa
pesantren adalah sarang teroris. Pernyataan bahwa pesantren adalah sarang
teroris jelas menunjukan kurangnya pemahaman tentang Islam Indonesia dan lebih
jauh lagi meluka perasaan seluruh umat Islam terutama kalangan pesantren.
Kekeliruan
anggapan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa argument. Pertama, secara kelembagaan pesantren
merupakan lembaga pendidikan agama yang berada di bawah pengawasan dan
pembinaan Departemen Agama. Pesantren dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan
yang selama ini sangat mendukung tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII), Persis, PUI, dan lain-lain.
Kedua,
Kurikulum dan kitab-kitab yang
diajarkan di pesantren berisi materi keagamaan yang menekankan ketaatan
beribadah, muamalah dan akhlak alkarimah. Di dalam pesantren memang diajarkan
tentang jihad sebagai bagian dari kajian kitab-kitab Fiqh. Pengajaran materi jihad tiada lain karena jihad merupakan
bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Pembelajaran tentang jihad,
senantiasa disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keterkaitan
dengannya, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jadi, jihad yang dimaksudkan adalah bagaimana seorang
santri secara sungguh-sungguh mau berjuang di jalan Allah agar menemukan
kebenaran dan kebahagiaan.
Ketiga, adanya beberapa pelaku teroris
yang pernah belajar di pesantren tidak berarti pesantren mengajarkan terorisme.
Tidak sedikit founding fathers (
pendiri negara) Indonesia adalah alumni pesantren. Mereka adalah mutjahid (pemikir) dan mujahid (pejuang) yang ditempa dalam
pendidikan pesantren. Dengan logika sederhana, misalnya, ketika ada seorang
penjahat alumni sekolah atau universitas , tidak berarti lembaga pendidikan
tersebut mendidik siswa atau mahasiswanya menjadi penjahat.
Karena
itu, adanya beberapa alumni pesantren yang terlibat dalam aksi terorisme tidak
berarti sama sekali bahwa pesantren adalah sarang teroris. Penelitian membuktikan bahwa para
pelaku teroris justru belajar merakit bom dan menjadi ekstrimis setelah mereka
tidak lagi belajar di pesantren. Mereka menjadi teroris karena berbagai macam
pengalaman hidup, Ketidakadilan hukum, kemiskinan dan tekanan politik. Faktor
psikologis, sosiologis, ekonomi dan politik
inilah yang sering kali tidak atau kurang disinggung sebagai sebab
tindakan terorisme.
Maka,
untuk memburu teroris dan memberantas terorisme di zaman seperti ini,
penyelesaian masalah secara kompherensif haruslah dilakukan secara arif,
teliti, dan cerdas. Stigmanisasi terhadap umat islam pasca peristiwa 11
September 2001 yang menjadikannya sebagai tertuduh, bagi sebagian umat Islam
yang lain tentu semakin membangkitkan gejala perlawanan terhadap semua tindakan
dan kaki tangan barat. Begitu juga dengan gejala terorisme Negara yang
ditunjukan oleh Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina, Libanon, Irak,
dan Afghanistan tentu semakin mengobarkan api peperangan bagi mereka yang sudah
mempunyai potensi melawan barat. Oleh karenanya, pemberantasan teror hendaknya
dilakukan dengan metode yang bersifat komprehensif, edukatif, dan jauh dari
diskrriminasi dan kekerasan. Jangan sampai pesantren menjadi korban dari
tindakan yang kurang memahami akar masalah terorisme.
-----
Dari uraian di atas dapat disimpulkan: Pertama, jihad tidak selamanya berarti
perang, karena di dalam Islam jihad dapat berbentuk haji mabrur, keberanian
menyampaikan kebenaran terhadap penguasa
yang zalim, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan
pendidikan, dan kepedulian, sosial. Kedua,
obyek jihad adalah orang kafir yang memusuhi Islam, orang munafiq, hawa nafsu,
kezaliman, kemunkaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Ketiga, jihad adalah salah satu azas
iman,amal utama dan puncak amaliah tertinggi. Keempat, termasuk jihad adalah semua upaya sungguh-sungguh
memperbaiki dan kualitas kehidupan muslim baik kualitas iman maupun
kesejahteraan. Kelima, Indonesia
bukan wilayah dar al-harb melainkan
Negara damai dan Negara dalam perjanjian karena umat Islam memiliki kesempatan
dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar