Menerapkan hukum Allah
adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Tidak ada alasan bagi seorang
muslim untuk mengambil hukum lain sepanjang telah diterangkan oleh Allah dan
rasul-nya. persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana hukum
seseorang/Negara yang tidak memberlakukan hukum Allah, sementara dalam QS. Al
ma’idah[5]: 44, 45 dan 47 Allah menyatakan secara berturut-turut.
Ketiga ayat di atas memang menimbulkan
dua penafsiran ekstrem yang berbeda-jika tidak saling bertentangan-antara satu
dan yang lain. mereka yang cenderung radikal memaknai ketiga ayat tersebut
sebagai bentuk justifikasi pengafiran orang/kelompok/Negara/muslim yang tidak
menerapkan hukum-hukum Allah.bagi mereka hanya ada dua pilihan: Menjadi muslim
dengan memberlakukan semua hukum-hukum Allah, atau menjadi kafir karena telah
melanggar semua /sebagian hukum tersebut.
Di sisi ekstrem yang lain, kelompok sekularis
mengatakan bahwa ketiga ayat diatas tidak ada hubungannya dengan kaum muslim, karena
ketiga ayat tersebut diturunkan khusus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani,
bukan kepada kelompok Muslim. Pendapat kedua ini banyak di pengaruhi oleh
pra-asumsi bahwa Islam hanyalah agama spiritual yang tidak ada hubungannya
dengan sistem hukum dan pemerintahan, sebagaimana yang di yakini oleh Ali Abdul
Raziq dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm. Pendapat Ali Abdul Raziq ini memang
menimbulkan banyak penolakan dari para cendekiawan Muslim terkemuka,
sebagaimana direkam secara baik oleh Muhammad Imarah dalam bukunya Ma’rakat al-Islam
wa Ushul al-Hukm. Di antara cendekiawan Muslim yang cukup keras menolak
pendapat Ali Abdul Raziq adalah Muhammad Dhiya’uddin ar-Reis dalam
bukunya “al-Islam wa al-Khalifah”. Menurut ar-Reis, penafsiran bahwa
ketiga ayat di atas hanya diperuntukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani dan tidak
ada sangkut pautnya dengan kaum Muslim merupakan penafsiran yang sama sekali
tidak tepat. Sebab, kata “man” (siapa
saja/barang siapa) dalam ketiga ayat itu adalah suatu lafal yang bersifat umum.
Oleh karenanya, penggalan akhir dari ketiga ayat tersebut menyuguhkan kepada
kita redaksi yang bersifat umum, yang tentu mencangkup di dalamnya kaum Muslim.
Kecuali itu, menurut ar-Reis, pengkhususan perintah penerapan hukum Allah
sebagaimana tertuang dalam ketiga ayat itu hanya kepada umat Yahudi dan
Nasrani-dua agama samawi yang relative lebih sedikit memuat aturan-aturan hukum
dibandingkan aturan-aturan dalam Islam yang lengkap-merupakan pengkhususan yang
out of contexs. Sebab, Islam sebagai
agama yang lebih banyak memuat aturan-aturan hukum lebih layak dituntut untuk
menerapkan aturan-aturan hukumnya ketimbang umat Yahudi dan Nasrani.
Tentu saja, penolakan yang keras atas
interpretasi kelompok sekularis itu muncul dari kelompok radikal yang
sayangnya, justru melahirkan suatu sikap ekstrim lain karna begitu mudah
mengafirkan mereka yang dianggap tidak menerapkan hukum Allah. Bahkan, kelompok
radikal yang sering disebut sebagai Hakimiyatullan
yang kerap mengatribusi umat Islam dewasa ini sebagai masyarakat jahiliyah
(sebagaimana di tuturkan oleh al-Maududi dan Sayyid Quthb), lebih jauh
menganggap sistem demokrasi yang di anut oleh hampir seluruh Negara dunia Islam
dewasa ini, sebagai salah satu bentuk penerapan hukum selain hukum Allah, dan
karenanya di anggap komunitas-negara kafir. Tentu saja, sikap ekstrim-radikal
ini tidak dapat di benarkan, sebagaimana penafsiran kaum sekularis liberalis
atas ketiga ayat di atas untuk memisahkan Islam dari sistem hukum juga tidak
dapat dibenarkan.
Oleh karena itu, mari kita melihat ketiga
ayat di atas dengan lebih cermat, sehingga kita dapat mendapatkan suatu
penfasiran yang tepat dan proporsional pertama-tama sekali, dalam pandangan
mayoritas umat Islam, masalah hukum merupakan persoalan furu (fiqih-syariah) dan bukan ushul (akidah/sistem
keimanan). Jika perbedaan pendapat dalam masalah furu hanya dapat
dikatakan “benar” atau “salah”, maka dalam
masalah ushul, seseorang bisa
terjerumus dalam kekufuran. Oleh karenanya, mereka yang tidak menjalankan hukum Islam
karena melanggar-bukan lahir dari pengingkaran dan penentangan-tidak dapat di
anggap telah keluar dari Islam (kafir). Lebih dari itu, sebagaimana perbedaan
iman dan Islam yang telah di jelaskan diawal tulisan ini, persoalan hukum lebih
merupakan aspek amaliyyah yang bersifat lahir (Islam), bukan termasuk aspek
akidah (iman), yang membuat seseorang bisa menjadi kufur bila melanggarnya.
Alhasil, mereka yang melanggar hukum-dari keimanan dan keIslaman (kafir),
kecuali perbuatan maksiat yang di lakukan adalah suatu perbuatan yang
menunjukkan kekufuran (seperti bersujud kepada selain Allah untuk maksud
penyembahan dan penuhanan).
Demikianlah, melanggar perintah-perintah Allah
dengan melakukan kemaksiatan, tidaklah membuat seseorang menjadi kufur, kecuali
kemaksiatan yang di lakukannya di dorong oleh peningkaran dan ketidakpercayaan
ataskewajiban-kewajiban agama.Dari titik ini dapat dikatakan bahwa pelanggaran dan pengingkaran adalah dua hal yang bebeda.Jika pelanggaran atas
hukum-hukum agama akan membuat seorang Muslimmenjadi pendosa yang fasiq, maka pengingkaran akan kebenaran hukum Allah
akan mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Dengan demikian, jika yang
terjadi di Negara-negara Muslim adalah pelanggaran atas hukum-hukum Allah
dengan tetap meyakini kebenaran ajaran-Nya, maka yang terjadi adalah kezaliman
dan kefasiqan, bukan kekufuran.
Menurut Fahmi Huwaidi, paling tidak ada
dua sebab mengapa realitas penerapan suatu hukum yang Alllah turunkan bukanlah
suatu bentuk kekufuran. Pertama, nash-nash
agama tidak menganggap “pelanggaran” terhadap hukum Allah sebagai bentuk
kekufuran. Karenanya, tak aneh ketika banyak khalifah di masa-masa awal Islam –saat
beberapa Sahabat Nabi dan Ulama Tabi’in masih hidup– memaksa rakyat untuk
membait putra-putra mahkota mereka,
suatu bentuk pelanggaran hukum atas syura
yang ditetapkan Allah, namun tak seorang pun saat itu –kecuali Khawarij–
yang mengafirkan para khalifah itu. Dan kedua,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menerapkan hukum selain hukum Allah
bukanlah persoalan akidah dan keimanan, melainkan pelakunya termasuk dalam
golongan pendosa (ashi) dan fasiq,
bukan kafir.
Pernyataan di atas sebenarnya akan semakin
jelas bila kita melihat sebab turunya ayat 44,45 dan 47 dari QS. Al- Maidah seperti
disebut di atas. Dalam berbagai kitab tafsir dikatakan bahwa ketiga ayat ini
diturunkan kepada orang-orang Yahudi yang menolak pemberlakuan hukum rajam yang
Allah tetapkan bagi penzina yang telah kawin (muhsan). Mereka berusaha mengganti hukum raja mini dengan hukum
cambuk. Penolakan orang-orang Yahudi ini lahir dari keyakinan mereka bahwa
hukum rajam yang Allah tetapkan itu tidak lagi sesuai dengan kondisi mereka.
Penolakan yang dibarengi pelecehan ini tentu telah merusak akidah dan keimanan
mereka akan kesempurnaan hukum yang Allah turunkan. Lebih jauh, orang-orang
Yahudi ini kemudian mencari hukum lain yang mereka anggap lebih baik dari hukum
Allah, yaitu hukum cambuk. Lengkaplah sudah bila penolakan, penghinaan, dan
penyelewengan hukum Allah ini membuat mereka pantas menerima label kufur.
Oleh karena itu,
menukil dari Tarjamun al-Qur’an, Ibnu
Abbas ra, ath-Thabari dalam tafsirnya
menjelaskan makna ayat-ayat di atas sebagai berikut , “Sesungguhnya orang yang
menentang (jahada) apa yang Allah
turunkan, maka ia telah kafir.tetapi,orang Yang mengakui hukum Allah tetapi
tidak menerapkannya,ia adalah orang yang zalim dan fasiq.
Sementara al-Qurthibi dalam tafsiranya mengatakan,”firman Allah ta’ala
“barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,maka
mereka itu adalah orang orang yang kafir,orang orang yang zalim,otrang orang
yang fasiq”.ayat-ayat ini dituruknkan kepada orang orang kafir sebagaimana
diriwayatkan oleh imam muslim… adapun seorang muslim yang melakukan pelanggaran
dosa besar,ia bukanlah kafir.dikatakan juga bahwa ayat tersebut ada yang tidak
disebut tersurat,yakni bahwa mereka yagn tidak menerapkan hukum yang Allah
turunkan karena mengingkari al-Qu’ran dan menentang Rasul-Nya,maka ia adalah
seorang kafir… menurut ibnu ma’sud dan al-hasan, ayat tersebut berlaku umum
bagi siapa saja yang tidak menerapkan hukum yang Allah turunkan karena
menentang Allah dan hukum-hukumnya, baik kaum muslim, yahudi, nasrani atau
musyrik.adapun yang melakukan kemaksiatan karena tidak yakin bahwa ia
sebenarnya telah melakukan pelanggaran,maka ia termasuk orang muslim yang fasiq
yagn perkaranya ada di tangan Allah,yakni diazab atau diampuni sesuai dengan
kehendak-Nya.a”
Penjelasan serupa juga kita dapatkan dalam tafsir ar-razi saat ia
menjelaskan makna ayat 44 surah al-Ma’idah: “Ikrimah mengatakan bahwa firman Allah:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang orang yang kafir”, hanya berlaku bagi mereka yang hati
dan lidahnya mengingkari dan menentang hukum-hukum Allah. Adapun mereka yang
hati dan lidahnya mengakui (hukum-hukum Allah), tetapi kemudian ia melanggar
apa yang ada dalam hatinya, maka sebenarnya ia adalah orang yang meyakini
kebenaran hukum Allah namun meninggalkannya dalam tindakan. Orang seperti ini
tidak dapat dikatagorikan sebagai kafir sebagaimana dalam ayat di atas.’’
Dari beberapa penafsiran di atas, menjadi jelas bahwa titik persoalannya
memang berkisar pada ketidaktepatan beberapa kalangan dalam memahami kata kafir
dalam ayat 44 QS. Al-Ma’idah. Oleh karenanya, dalam madarij as-salikin, Ibnu al-Qayyim membedakan dua macam kekufuran: Kufur-besar
(al-kufr al-akbar) dan kufur-kecil (al-kufr al-ashghar). Kufur besar
adalah kekufuran yang menyebabkan seseorang keluar dari agama sehingga kekal di
neraka; sementara kufur-kecil menyebabkan pelakunya diancam siksa neraka namun
tidak kekal di dalamnya. Kufur-besar membuat pelakunya keluar dari agama,
sementara kufur-kecil tidak samapi membuat pelakunya keluar dari agama. Istilah
kufur-kecil dapat didapati dari beberapa redaksi hadits Nabi, misalnya, sabda
beliau: “Dua hal pada umatku yang meraka menjadi kafir (kecil) karenanya: Merusak
nasab dan meratapi mayit (niyahah).” Demikian pula sabda beliau: “ Jangan kembali sepeninggalanku kepada
kekufuran, (yaitu) sebagian
kalian saling memukul leher sebagian yang lain (berperang/saling membunuh).”
Menurut ibnu al-Qayyim, contoh lebih dari kufur-kecil yang tidak membuat
pelakunya menjadi keluar dari agama adalah firman Allah swt dalam QS.
Al-Ma’idah [5] 44. Pendapatnya menyatakan,” Inilah penafsiran Ibnu abbas ra.
Mayoritas sahabat atas ayat “Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang–orang yang kafir”, di mana Ibnu abbas mengomentari ayat ini,” Sesungguhnya
ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari Islam… bukan pula
seperti kekufuran kepada Allah dan Hari Akhirat.” Demikian juga komentar
Thawus atas ayat di atas,” Itu adalah kekufuran (kecil) yang bukan dan berada dibawah
kekufuran (besar)…”
Setelah memamparkan beberapa penafsiran ulama tentang makna kufur, Ibnu
al-Qayyim samapi pada kesimpulan,” Yang benar adalah bahwa menerapkan hukum
selain yang diturunkan Allah dapat mengantarkan pelakunya kepada dua jenis
kekufuran: Kufur-besar dan kufur-kecil, tergantung kondisi pelakunya. Jika ia
meyakini kewajiban hukum Allah dalam suatu perkara, tetapi ia melanggar dengan
tetap meyakini bahwa pelanggarannya dalah suatu dosa, maka ia telah melakukan
kufur-kecil. Tetapi, jika ia meyakini hukum Allah sebagai perkara yang tidak
wajib, dan ia merasa bebas (tidak bersalah) saat mengabaikannya, maka ia telah
terjerumus ke dalam kufur-besar. Sementara, bila ia melakukan akibat kebodohan
dan kesalahan-penafsiran, maka ia termasuk orang yang bersalah… simpulnya
adalah bahwa semua bentuk kemaksiatan (pelanggaran-pelanggaran atas hukum Allah)
termasuk dalam jenis kufur-kecil, suatu jenis kekufuran yang merupakan lawan
dari syukur yang menuntut ketaatan, (bukan lawan dari iman yang dapat
mengeluarkan seseorang dari agama).”
Apa
yang dikemukakan oleh para ulama klasik terkemuka sebagai dipaparkan di atas,
juga menjadi pendapat beberapa cendekiawan Muslim kontemporer semisal Yusuf al-Qaradhawi.
Dalam beberapa karyanya, al-Qaradhawi –mengutip pendapat Rasyid Ridha– menulis;
“ Tepatlah senyalemen Allah dalam ketiga ayat surat al-Ma’idah itu ketika
menyifati orang kafir, orang zalim, dan orang fasik, masing-masing sesuai
dengan keadaannya. Bila seseorang menolak melaksanakan hukum Allah yang qath’i
karena menganggapnya buruk dan lebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia,
maka ia telah terjerumus dalam kekafiran. Sedangkan orang yang tidak berhukum
dengan apa yang diturunkan Allah itu karena alasan lain yang mengakibatkan
terjadinya pengabaian hak dan keadilan, maka dia adalah zalim; dan yang tidak
mengakibatkan pengabaian hak dan keadilan sebagai fasiq saja. Sebab, kata fasiq
lebih umum ketimbang lainnya. Setiap orang yang kafir dan zalim adalah fasiq;
tidak sebaliknya.;
Demikian pula khawatir (kesan) yang diperoleh pakar tafsir
Indonesia, M. Quraish Shihab, saat mengupas ayat 44 surah Al-Mai’dah
berpendapat; “(ayat ini) dipahami dalam arti kecaman yang amat keras terhadap
mereka yang menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Tetapi
ini oleh mayoritas ulama.. adalah bagi yang melecehkan Hukum Allah dan
mengingkarinya Memang satu kekufuran
dapat berbeda dengan kekufuran yang lain, demukian pula kefadiqan dan kezaliman
non-Muslim. (sebab), kekufuran seorang muslim bias diartikan pengingkaran
nikmat… Betapapun, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini
menegaskan bahwa siapa saja-tanpa kecuali-jika melecehkan hukum-hukum Allah
atau enggan menerapkannya karena tidak mengakuinya, maka dia adalah kafir, yakni
telah keluar dari agama Islam”.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPancasila Kafir
BalasHapus