Islam mulai
berkembang secara spektakuler sejak hijrah Rasulullah saw. dari Mekah ke
Madinah, yang sebelumnya disebut Yastrib. Ajaran-ajaran agama ini cenderung
mengarah kepada persamaan dan penghargaan pada harkat kemanusiaan, yang pada
saat itu masih masih merupakan barang langka. Selain itu, yang menyampaikannya
dalah figur yang dikenal dengan keagungan akhlak, kejujuran dalam bicara, dan
kesederhanaan dalam hidupnya, yang semua sifat itu diakui memang ada pada diri Rasulullah
saw. Tidak aneh, bila agama ini segera menarik perhatian banyak orang, terutama
mereka yang selama ini terpinggirkan. Karena perkembangan yang luar biasa ini,
Sayed Ameer Ali mengatakan bahwa agama yang dibawa Rasulullah saw. ini menyebar
dengan sangat cepat di muka bumi, sehingga dinilai sebagai suatu gejala yang
amat mengagumkan dalam sejarah agama-agama.[1]
Islam setahap demi setahap menyebar dan di peluk oleh berbagai suku di Jazirah
Arab. Pada sisi lain, sejalan dengan perkembangan Islam, komunitas yang
didasarkan pada ajaran agama ini muncul dan mulai meluas sebagai suatu kekuatan
politik. Dalam wakyang tidak terlalu lama, kekuatan ini segera mengejawantah
menjadi negar Islam yang kuat.[2]
Pada saat Rasulullah saw. wafat, Islam sebagai agama telah dipeluk oleh semua
suku bangsa Arab dan secara politis seluruh Jazirah Arab telah pula berada di
bwah kekuasaan pemerintahan Islam.
Demikian hebatnya perkembangan Islam,
baik sebagai agama maupun kekuatan politik. Hal yang sedemikian ini tak pelak
lagi telah mengundang berbagai komentar, baik dari kalangan muslim maupun
non-muslim. Di antara mereka ada yang mengemukakan pendapat positif, tetapi
banyak pula yang ungkapannya cenderung mengarah pada hal yang negative. Yang
bernada positif berpendapat bahwa semangat yang di bawa agama ini sungguh
sangat besar, sehingga hal itu mampu membangkitkan dorongan untuk
mengembangkannya. Karena Islam suatu bangsa yang sebelumnya tidak disebut dalam
sejarah menjadi sangat popular dengan kekuatan politiknya dikalangan para
sejarawan. Komunitas ini juga kemudian dikenal dengan peradabannya yang sangat
mengagumkan, sehingga sanggup mewarnai kemajuan umat manusia. Inilah kesan
positif dari kemunculan dan perkembangan Islam yang memberikan pengaruh hingga
sekarang. Sedangkan yang bernada negative berpendapat bahwa dibalik
perkembangan pesat yang memang mengagumkan itu, ada sesuatu yang dinilai kurang
sedap dalam pandangan mereka. Hal yang sedemikian ini diakibatkan oleh
perkembangan dan penyebarannya dipengaruhi dengan kuat oleh semangat
penakhlukan yang mengandalkan ketajaman pedang. Denagn demikian berkembangnya Islam
yang sangat spektakuler itu tidak lain karena disebarkan dengan kekuatan
pasukan bersenjata. Inilah kesan yang kemudian selalu diembuskan dengan tujuan
untuk mendiskreditkan keberadaannya. Logika sebaliknya dari pemikiran ini
adalah bahwa bila saja perluasannya dilakukan dengan jalan damai, kemungkinan
fenomena yang dapat disaksikan tidaklah seperti yang terlihat selanjutnya.
Islam disebarkan
dengan pedang. Inilah pendapat sebagian orang, terutama mereka yang termasuk
kelompok orientalis dan yang kurang senang kepada agama ini. Pendapat demikian
tentu menuai beragam respons dari umat Islam sendiri dan juga dari mereka yang
menilainya secara jujur. Sebagian besar pemeluk agama ini jelas tidak
sependapat dengan ungkapan tersebut. Kendati demikian, ada baiknya juga bila
diungkapkan bahwa dalam sumber-sumber utama ajaran Islam sendiri terdapat
dalil-dalil tekstual yang melegitimasi kebenaran pendapat tersebut. Di
antaranya adalah yang berasal dari hadits Nabi saw.riwayat Imam Bukhari yang
berasal dari Abdullah bin Umar bin khathab, yaitu:
“Abdullah bin
Muhammad al-Musnadi berkata; ketika member tahu kami, bahwa Abu Rawh al-Harami
bin Umarah berkata bahwa Syu’bah menerima berita dari Waqid bin Muhammad yang
berkata, “saya mendengar ayahku berbicarqa tentang (berita dari) Ibnu Umar bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Saya diperintahkan untuk mememrangi manusia sehingga
mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasulullah,
mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka mengerjakan itu (semua) maka
mereka terjaga dariku darah dan harta mereka hanya dengan kebenaran Islam, dan
perhitungan mereka (diserahkan) kepada Allah.” (HR.Al-Bukhari)[3]
Dalam hadist lain
riwayat Imam Ahmad yang juga berasal dari Ibnu Umar disebutkan hal yang senada,
yaitu:
“Muhammad bin
Yazid, yaitu al-Wasithi, memberitahu bahwa Ibnu Tsauban membertahu dari Hassan
bin ‘Athiyah dari Abi Munib al-Jurasyi dari ibnu Umar yang berkata Rasulullah
saw. bersabda: “Saya diutus dengan pedang sehingga Allah disembah dan tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan rezeki ku ditetapkan di bawah bayangan panahku, serta
telah ditetapkan kehinaan dan kerendahan bagi yang menentang perintahku, dan
siapa saja yang meniru (perilaku) suatu umat maka ia termasuk kelompoknya. (HR.
Ahmad)[4]
Kedua hadits tersebut mengisyaratkan
bahwa Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyebarkan Islam dengan pedang,
yaitu dengan memerangi mereka yang tidak mau menerima Islam sebagai agama
sampai mereka memeluk agama ini, mengakui tidak ada tuhan selain Allah,
mengakui bahwa Muhammad itu rasul Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat
sebagaimana yang telah ditetapkan. Siapa saja yang menentang dakwah ini, maka
ia wajib diperangi. Inilah makna yang tersurat dari hadits-hadits tersebut.
Berdasar kedua pesan ini,tidak aneh kalau muncul anggapan bahwa Islam itu
disebarkan dengan pedang.
Secara harfiah, hadits-hadits
tersebut memang menyiratkan makna seperti yang telah dipaparkan, yaitu
penyebaran Islam dengan memerangi orang yang tidak mau memeluknya. Meskipun
begitu, kesan ini tidak dapat dijadikan sebagai pedoman secara umum dalam
penyebaran agama. Hal yang sedemikian ini disebabkan oleh adanya fakta lain
yang berbeda dari yang tersurat dalam pesan Rasulullah saw. sendiri adalah
wahyu Allah yang tercantum dalam surat al-Baqarah [2]: 256, yaitu:
“Tidak ada
paksaan dalam (memeluk) agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari
jalan yang salah. Karena itu sapa saja yang ingkar kepada thagut dan beriman
kepada Allah, mka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS.Al-Baqoroh [2]: 256)
Ayat ini turun
disebabkan adanya peristiwa yang berkaitan dengan Hashin dari golongan Anshar,
yang berasal dari Bani Salim biun A’uf. Ketika itu ia mempunyai dua orang anak
yang memeluk agama Nasrani. Kemudian Allah menurunkan ayat ini sebagai
jawabannya, yaitu bahwa umat Islam (termasuk Rasulullah saw) tidak
diperbolehkan untuk memaksa seseorang untuk memeluk Islam.[5]
Informasi ini menjelaskan bahwa
memaksa anak sendiri untuk memeluk Islam saja tidak diperbolehkan. Rasulullah
saw. dengan sangat elegan, berdasar wahyu ini, menyampaikan bahwa agama
menyerupakan hak setiap orang untuk menentukannya, sehingga umat Islam tidak
punya hak untuk memaksa orang lain memeluknya. Logika sebaliknya, atau dalam
istilah ilmu ushul al-Fiqh disebut dengan mafhum al-Mukhalafah, adalah
kalau memaksa anak sendiri saja tidak diperbolehkan, apalagi memaksa orang lain
atau memeranginya untuk tujuan yang sama. Dengan demikian berdasar ayat ini
dapat dikatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Islam disebarkan dengan
pedang adalah jelas tidak benar. Rasulullah saw. tentunya tidak akan memberikan
informasi yang bertentangan dengan wahyu Allah tersebut.
Perlu juga diperhatikan bahwa ayat
yang melarang adanya pemaksaan untuk memeluk Islam merupakan ayat Madaniah,
yaitu yang turun sesudah hijrah Rasulullah saw. pada saat itu, umat Islam sudah
merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan tidak takut menghadapi musuh. Fakta
ini menunjukkan bahwa Islam ternyata mengajarkan agar pemeluknya tidak bersikap
sewenang-wenang ketika mereka dalam keadaan kuat. Kekuatan pasukan yang
dimiliki umat Islam bukan ditujukan
untuk mempertahankan diri dan membela mereka yang tertindas karena
keyakinannya. Menurut Marcel A. Boisard, selain tujuan di atas, kandungan ayat
ini juga ditujukan kepada umat non-muslim agar mereka juga tidak memaksakan
keyakinan kepada siapa saja atau lebih jelasnya bila ada orang yang ingin
memeluk Islam, maka mereka pula tidak diperbolehkan untuk memaksanya untuk
membatalkan niatnya untuk memeluk Islam. Dengan logika ini, adalah wajar bila Islam
menganjurkan agar umatnya menyiapkan kekuatan untuk melindungi siapa saja yang
tertindas kelompok lain dan menderita karena keyakinan atau agamanya.[6]
Itulah fakta-fakta yang diungkapkan
dalam al-Qur’an. Namun, bagaimana halnya dengan pesan Rasulullah saw. yang
terkandung dalam dua hadits tersebut. Apakah keduanya, yang secara tersurat
bertentangan dengan kandungan ayat, dianggap tidak benar dan tidak dapat
dijadikan dasar dari munculnya anggapan tidak benar dan tidak dapat dijadikan
dasar dari munculnya anggapan seperti yang telah diungkapkan, padahal
hadits-hadits itu dinilai shahih dan dapat dijadikan sebagai dalil hukum. Di sini secara sekilas tampak adanya
pertentangan antara ajaran al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw. dalam
haditsnya, padahal kedua sumber itu diyakini berasal dari Allah juga, sehingga
adanya pertentangan di antara keduanya
merupakan sesuatu yang sulit diterima. Berkaitan dengan kasus semacam ini,
biasanya para ulama menyelesaikan dengan mempromikan tuntunan-tuntunan yang
terkesan bertentangan itu. Para ulama dan cendikiawan Muslim, seperti Muhammad
Quhub[7] dan Muhammad As-sayyid Ahmad al-Wakil,[8]
dalam rangka memberikan penjelasan tentang hal tersebut, menyebutkan beberapa
persoalan yang dihubungkan dengan masalah-masalah yang mesti dipahami terlebih
dahulu. Persoalan-persoalan itu adalah seperti yang dikemukakan berikut ini.
Masalah pertama yang mesti
diperhatikan adalah bahwa Islam merupakan agama dakwah. Ajarannya menganjurkan agar setiap pemeluknya selalu
mengajak orang lain untuk mememluk agama ini. Oleh karena itu, sejak
kemunculannya, Rasulullah saw., para sahabat, tabi’in, dan
generasi-generasi berikutnya samapai
sekarang selalu berupaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada mesyarakat
yang belum memeluknya. Tuntunan Islam
menegaskan bahwa ajakan untuk memeluk agama ini mesti dilakukan dengan cara
yang bijaksan, nasihat yang baik, dan diskusi yang dapat mewncerahkan. Pesan
ilahi yang menegaskan tuntutnan ini adalah firman-Nya yang tercantum dalam
Surah an-Nahl [16]: 125, yaitu:
“Ajaklah
(manusia) ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, dan nasehat (pelajaran) yang baik,
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah
yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.an-Nahl [16]:125)
Ajaran Islam melarang sama sekali
pemaksaan terhadap non muslim untuk memeluk agama ini, sebagaimana telah
diungkapkan pada surah al-Baqarah ayat 256 yang dikutip sebelumnya. Selain itu,
fakta sejarah juga menunjukkan hal demikian, seperti yang diungkapkan oleh
Marshall G.S. Hodgson bahwa umat Kristiani Najran, suatu daerah yang terdapat
di Yaman, siap untuk tunduk pada pemerintah di Madinah, namun mereka bersedia
untuk memeluk Islam dan tetap pada keyakinan agamanya. Ternyata Rasulullah saw.
meluluskan keinginan mereka dan memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk
tetap memeluk agama mereka semula.[9]
Thomas W. Arnold, seorang orientalis yang banyak menulis buku tentang Islam,
mengungkapkan bahwa fakta adanya orang Yahudi dan Nasrani di Negara-negara Islam
sejak dahulu sampai kini merupakan bukti yang tidak dapat diragukan bahwa Islam
tidak pernah memaksa orang memeluk agamanya dengan kekuatan pedang.[10]
Masalah kedua adalah bahwa umat
Islam pada saat itu merupakan komunitas yang baru tumbuh. Kehadirannya dinilai
sebagai duri bagi suku-suku bangsa yang terdapat di jazirah Arab. Keberadaannya
tidak pernah terlepas dari adanya kekhawatiran terhadap keinginan pihak lain
untuk menumpas dan menghapusnya dari muka bumi. Umat Islam dituntut untuk
selalu siaga mempertahankan eksitensinya dari rongrongan yang berasal dari mereka yang tidak menyukai
kehadirannya di muka bumi. Mereka mesti selalu siap menghadi pmusuh, yang kapan
saja dapat dating untuk menyerang. Oleh karena itu, tidak salah bila umat ini
terpaksa memakia kekerasan dengan mengangkat senjata untuk membela diri. Dengan
dasar ini, Marcel A. Boisard menyebutkan bahwa fenomena kemunculan Islam
ditandai dengan tiga konsep utama dalam hubungan dengan pihak luar yaitu takwa, siap berperang dan kebesaran jiwa.[11]
Dengan demikian, kondisi dan danya tantangan dari luar merupakan factor utama
dari selalu siapnya umat Islam pada awl perkembngannya dengan senjata. Dengan
kata lain kesiapan mereka dengan pedang atau senjata adalah dalam rangka
mempertahankan diri dari serangan musuh. Kalupun terjadi penakhlukan dengan
senjata yang dilakukan pasukan Islam terhadap suatu daerah, dan kemudian
terjadi konversi dari masyarakat yang ditakhlukan, dan mereka memeluk Islam,
maka itu semua berjalan dengan sukarela, bukan karena adanya tekanan, paksaan
atau apa pun namanya.
Masalah ketiga adalah bahwa Islam
sesungguhnya meruopakan agama yang mencintai perdamaian dan bukan agama yang
mengandalkan penyebarannya dengan perang. Kata salam yang artinya damai,
selamat atau keselamatan dan sejahtera atau kesejahteraan banyak disebut dalam
al-Qur’an. Rasulullah saw. sendiri selalu mengajak umat lain untuk memeluk Islam
dengan cara damai. Ajakan untuk hidup berdampingan dalam suasana damai selalu
digaungkan. Pesan-pesan beliau tentang perdamaian ini juga terekam dalam
hadits-haditsnya, di antaranya:
“Rasulullah saw.
bersabda, sesungguhnya Allah menjadikan salam sebagai cara penghormatan bagi
umat kita, dan juga sebagai tanda kesejahteraan (ketentraman”) bagoi
orang-orang dzimmi (non-muslim yang tinggal di daerah kekuasaan Islam) di
lingkungan kita.”
Pada sisi lain, kenyataan tentang
adanya peperangan dalam perjalanan sejarah Islam merupakan fakta yang tidak
dapat di sangka. Perang memang diperintahkan dalam Islam seperti yang tercantum
dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun yang dipesankan Rasulullah saw. sendiri dalam
berbagai haditsnya. Kendati demikian, perlu dipahami bahwa perang itu hanya
diperintahkan ketika umat Islam dalam keadaan terancam. Muhammad as-Sayyid
Ahmad al-Wakil menegaskan bahwa Islam tidak melaksanakan perang penghancuran.
Karena itu, menurut pendapatnya, perang dalam Islam itu ada dua macam. Yang
pertama adalah perang yang kejam dengan tujuan utama untuk menguasai,
membanggakan diri, memperbudak, menghina dan memonopoli hasil suatu bangsa.
Perang semacam ini merupakan sesuatu yang tidak disukai dan Allah secara tegas
melarangnya. Pelarangannya disebabkan oleh kenyataan bahwa perang seperti ini
hanya merupakan pellanggaran terhadap hak-hak manusia.[12]
Pendapat demikian juga dikemukakan oleh Sayid Sabiq yang mengatakan bahwa
perang yang bersifat ekspansif atau perluasan daerah, perluasan pengaruh,
motivasi mengumpulkan harta, atau menambah kekuasaan yang menyebabkan, mengumpulkan
harta, atau menambah kekuasaan yang menyebabkan kemusnahan suatu umat atau
peradaban yang berkaitan dengan kemanusiaan adalah terlarang.[13]
Yang kedua adalah perang yang tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran,
membebaskan mesyarakat dari pemaksaaan dalam berakidah, untuk melindungi
kesinambungan daklwah Islam, dan untuk mempertahankan diri dari serangan atau
ancaman musuh. Perang seperti ini adalah yang diperintahkan dalam Islam.[14]
Pada kenyataannya, banyak masyarakat atau bangsa yang tidak menyukai perang,
namun karena keadaan yang memaksa seperti adanya serangan dari luar yang
bertujuan merebut tanah air atau untuk menguasai mereka, maka tidak ada jalan
lain kecuali mesti melakukan perang pula. Tuntunan ilahi yang menegaskan
prinsip ini antara lain:
“Dan perangilah
jlan Allah orang-orang yang menerangi kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-Baqoroh
[2]:190)
Dalam ayat lain ditegaskan bahwa
perang ditujukan untuk menghilangkan ancaman dan hal-hal yang tidak sejalan
dengan aturan Allah. Ayat tentang tuntunan ini adalah:
“Dan perangilah
mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi,dan agama (ketaatan) itu menjadi
hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-oarang yang zalim.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 193)
Mempertimbangkan kenyataan di atas,
tampaknya diperlukan analisis secara historis dan sosiologis terhadap kandungan
pesan yang tercantum dalam dua Hadits Rasulullah saw. yang dikutip di atas.
Secara kesejarahan, dapat diketahui bahwa pada saat Rasulullah saw.
mengungkapakan pesannya, hal itu di latarbelakangi oleh suasana yang tidak
kondusif bagi kesinambungan eksitensi Islam dan umatnya. Pada masa itu,
berbagaii kelompok atau golongan di sekitar Madinah selalu mengintai dan
mencari kesempatan untuk menghancurkan Islam. Mereka tidak senang bila umat
yang baru muncul ini berkembang dan menjadi kuat. Selagi masih lemah, komunitas
ini mesti dimusnahkan, demikian kira-kira pendapat mereka. Karena itulah,
mereka selalu berupaya setiap ada kesempatan untuk menghancurkannya, ketimbang
di kemudian hari menjadi pesaing atau bahkan menguasai mereka. Fakta sejarah
mengungkapkan bahwasannya pada saat itu memang terdapat ancaman-ancaman yang
mesti terus mewaspadai oleh masyarakat yang baru tumbuh ini. Ancaman pertama
datang dari suku penduduk Mekkah yang belum merelakan keberadaan Nabi Muhammad
saw. dan umatnya, walau mereka sudah berhijrah ke Madinah. Penduduk Mekkah
masih tetap merasa khawatir bahwa peran mereka dalam masalah kepamimpinan,
social, maupun ekonomi akan tereduksi atau bahkan hilang diambil oleh kekuatan
baru tersebut. Ancaman kedua yang dinilai juga sangat mengkhawatirkan dating
dari kelompok Yahudi yang tinggal di sekeliling Madinah. Yang terakhir ini
palng tidak mempunyai dua alas an, yaitu mereka tidak ingin melihat Nabi
Muhammad sebagai penyelamat, seperti yang disebut dalam kitab suci, dan adanya
keinginan untuk melestarikan dominasi ekonomi mereka di Madinah. Ancaman ketiga
dating dari orang Nasrani yang selalu menyebut Rasulullah saw. sebagai Nabi palsu.
Sedang ancaman keempat dating dari penduduk Madinah yang kelompok sebagai kaum
munafik yang selalu merongrong dari dalam. Inilah fenomena yang dikenal pada
masa tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi dari ungkapan Rasulullah
saw. itu adalah karena danya ancaman serius yang selalu mengintai dan mencari
kesempatan untuk menghancurkan Islam dan umatnya.
Pada saat lain, ketika ancaman itu dinilai
tidak signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, Rasulullah saw. selalu
menganjurkan agar umat Islam selalu bertindak adil, jujur, dan berbuat baik
pada siapa saja yang tidak memusuhi atau memerangi. Allah menegaskan ajaran ini
dalam surah al-Mumtahanah [60]:8-9, yaitu:
“Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi karena agama dan
mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, sebagai
kawanmu. Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.” (QS.Al-Mumtahanah[60]:8-9)
Sesudah Rasulullah
saw. wafat, ancaman terhadap Islam dan umatnya terus saja muncul. Hanya saja
pada kurun waktu ini, upaya tersebut dilakukan oleh dua kerajaan besar di
sekitar jazirah Arab, yaitu kekaisaran Romawi Timur dan Persia. Kedua kerajaan
besar ini tidak senang dengan kemajuan Islam sebagai suatu kekuatan politik
baru di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu, keduanya selalu mencari
kesempatan yang baik untuk mengalahkan kekuatan Islam yang dipandang sebagai
pesaing baru bagi keduanya yang sangat mungkin berpotensi sebagai ancaman bagi
keberadaan kedua imperium tersebut.
Menghadapi situasi seperti ini, umat
Islam selalu dituntut untuk siaga setiap saat. Keadaan demikian tentu membuat
mereka merasa selalu terancam dan menjadikan mereka tidak tenang. Salah satu
upaya untuk mewujudkan ketentraman hidup adalah dengan menghilangkan ancaman
yang selalu menggelisahkan itu. Cara
terbaik yang mesti dilakukan adalah dengan lebih dahulu menyerang musuh yang
dinilai memiliki potensi untuk menyerang. Tampaknya, doktrin “menyerang adalah
pertahanan diri yang paling baik” juga sudah dilakukan oleh umat Islam pada
masa itu. Dalam rangka mewujudkan ketenangan hidup inilah, perang diperbolehkan
dalam Islam.
Dari uraian di atas, dapat dipahami
dengan jelas ketidakbenaran anggapan bahwa Islam itu disebarkan dengan pedang.
Hadiots Rasulullah saw. yang mengarah pada pengertian seperti itu mesti
dipahamai secara kontekstual, yaitu dalam suasana yang bagaimana pesan itu
diungkapkan. Lebih lanjut, dalam suasana yang berbeda dan umat Islam tidak
sedang berada dalam ancaman, maka kandungan dari pesan itu tentunya tidak dapat
diwujudkan. Pada masa kini, di saat bangsa-bangsa dunia menghendaki perdamaian
dengan tidak saling mengganggu antara satu dengan yang lain, maka doktrin
tentang perang mesti tidak lagi mengemuka. Sebaliknya, yang mesti ditegaskan
adalah ajaran tentang kedamaian,
ketentraman, dan keselamatan yang juga banayk diungkapkan baik dalam Al-Quran
maupun pesan Rasulullah saw. Sendiri dalam berbagai haditsnya.
Dakwah Rasulullah
saw. untuk mengajak umat manusia ke jalan Allah dilanjutkan oleh kaum Muslim
sejak masa sahabat, tabi’in, sampai sekarang. Ajaran-ajaran Islam yang
mengajarkan persamaan dan penghargaan pada harkat dari berbagai bangsa di dunia. Dalam
praktiknya, kaum muslim selalu mengajak umat lain untuk memeluk Islam. Bila
mereka berkeberatan, umat Islam tetap memberikan kebebasan pada mereka untuk
tetap memeluk agamanya semula. Hanya saja, bagi mereka ini ditetapkan untuk
membayar jizyah (pajak perlindungan). Dengan adanya kebebasan ini, tidak
sedikit bangsa non-Arab yang dengan senang lebih memilih berada di bawah
kekuasaan pemerintahan Islam ketimabang dikuasai oleh kelompok lain yang
cenderung memaksa mereka untuk memeluk agama sang penguasa. Inilah salah satu
alas an dari perkembangan Islam yang sangat spektakuler secara politis.
Islam adalah agama
rahmatan lil ‘alamain. Ajaran ini merupakan ketetapan yang telah digariskan
Allah dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, tuntunan-tuntunannya juga akan mengarah
pada terwujudnya kedamaian dan ketenteraman di dunia. Dengan arah yang demikian
doktrin yang mengacu pada tindak kekerasan atau yang menjurus pada penindasan
umat melalui kekuatan senjata, tanpa dibarengi alasan yang kuat pasti dilarang
dan tidak ditolerin. Dengan demikian anggapan bahwa Islam identik dengan
kekerasan adalah tidak benar. [hamdani anwar]
[1] Lihat Sayed Ameer
Ali, Api Islam, terj. HB Yasin, (Jakarta : Bulan Bintang,1978), h.352.
[2] Lihat Philip K.
Hitti, History of the Arabs, (London : The MacMillan Press Ltd,1974), h. 120.
[3] Imam al-Bukhari,
shahih al-Bukhari, jilid 1, h.42.
[4] Imam Ahmad, Musnad
Ahmad,jilid 10, h.404.
[5] Qamaruddin Shaleh
et al, Asbab an-Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 1974),h.81.
[6] Marcel A. Boisard,
Humanisme dalam Islam, HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,1680), h.273.
[7] Seorang cendikiawan
Muslim dari Mesir yang banyak menulis buku untuk menjelaskan ajaran Islam dan
menjawab kritikan para orientalis yang menilai ajaran dan umatnya secara
keliru. Di anatara karyanya adalah syubhathawl al-Islam. Buku ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul jawaban terhadap alam
pikiran barat yang keliru tentang Islam.
[8] Seorang ulama dari
Saudi Arabia yang juga banyak menulis buku dan menjelaskan tentang ajara-ajaran
Islam. Di antara bukunya yang berkaitan dengan masalh perang ini adalah hadza
al-din baina Jahl Abna’ih wa Kaidi A’da’ih. Kemudian buku ini diterjemahkan ke
bahasa Indonesia dengan judul Agama Islam: Antara Kebodohan Pemeluk dan
Serangan Musuhnya.
[9] Marshall
G.S.Hodgson, The Venture of Islam,(Chicago: The university of Chicago
press,1988), vol.1, h. 195.
[10] Thomas W.Arnold,
The Preaching of Islam, (London:Constable,1913), h.57.
[11] Marcel A.
Boisard,Humanisme dalam Islam, terj.HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,1980),
h.272.
[12] Muhammad as-Sayyid
Ahmad al-Wakil, Agama Islam:antara kebodhan pemeluk dan serangan musuhnya,
terj. Burhan Jamaluddin,(Bandung: Al-Ma’rif ,1988), h.57
[13] Sayid
Sabiq,Unsur-unsur kekuatan dalam Islam, terj. Muhammad Abdai Rathomy,(Surabaya:
Ahmad Nabhan,1981), h. 272.
[14] Muhammad as-Sayyid
al-Wakil, Agama Islam: Antara Kebodohan Pemeluk dan serangan Musuhnya, h.57.