Untuk mengetahui jawabannya, mari kita bahas
pengertian iman,Islam, dan kufr.
Dalam bahasa Arab, secara etimologis kata iman
berarti “percaya” (at-tashdiq muthalaqan),
sebagaimana firman Allah saat menceritakan ihwal saudara-saudara Nabi Yusuf as.
yang berupaya menyakinkan Bapak mereka tentang kebohongan mereka bahwa Yusuf
as. telah dimakan ni) (QS.Yusuf [12]: 17). Demikian pula hadits nabi tentang
definisi iman,yakni pembenaran hati dan percaya kepada Allah,
Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab
suci-Nya , hari akhirat,dan qadha dan qadar.
Dalam pengertian terminology-syara’,iman didefinisikan sebagai ” percaya kepada
Allah,rasul-rasul-Nya, kitab-kitab suci-Nya, malaikat-malaikat-Nya, hari akhirat
dan qadha dan qadar”. (lihat, misalnya, QS. al-Baqarah [2]: 285 dan ayat lain
tentang rukun iman)
Dengan demikian, pengertian iman secara terminologis selaras denagan
makna etimologis, yakni keyakinan dan sikap percaya berdasarkan ketulusan hati.
Hubungan yang erat antara iman dan sikap hati tampak jelas dalam doa Nabi saw,
“ Ya Allah tetapkanlah hatiku untuk senantiasa berada dalam agama Mu”. Demikan
pula keberatan beliau saat melihat tindakan Usamah bin Zaid ra. Yang membunuh
seseorang yang telah mengucapkan kalimat syahadat karena-dalam hemat
Usamah-takut dibunuh, “ Apakah engkau belah dadanya korek hatinya?”
Adapun kata Islam, secara etimologis berasal dari akar kata aslama,yang
berarti “ masuk dan memeluk Islam”. Kata in dalam pengertian terminologisnya
didefinisikan oleh sabda Nabi saw, “ Islam adalah bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bilan Ramadhan”. Dari definisi ini,
jelas kiranya bahwa makna Islam lebih
menekankan kepada aspek eksetoris yang ditunjukan melalui aktifitas-aktifitas
lahir dari kewajiban- kewajiban Islam. Secara demikian, bila keimanan merupakan
pembeneran hati yang bersifat ekseteris, maka Islam merupakan aktifitas lahir
yang bersifat eksoterik. Perbedaan
antara iman dan Islam sebagaimana dijelaskan diatas dapat dilihat dari
persepektif al-Qur’an yang memang membedakan kedua nya, yaitu firman Allah swt:
“
orang-orang arab badui itu berkata, ‘kami telah beriman’.katakanlah, ‘kamu
belum beriman,’ tapi katakanlah, ‘kami telah Islam, ’karena iman itu blum masuk
kedalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan
mengurangi sedikit pun pahala amalan mu sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang “. (QS. al-Hujarat[49]:14)
Demikian pula hadits tentang perbedaan antara iman, Islam, dan ihsan
yang dikenal dengan hadits – jibril. Kendatii demikian, antara iman dan Islam
terdapat kolerasi yang sangat erat, karena keimanan yang tulus akan melahirkan
amalan-amalan yang bersifat lahiriah (Islam); demikian pula amalan-amalan
lahiriah yang tulus dan tidak hipokrit merupakan refleksi dari sikap mental dan
keyakinan hati (Iman).
Persoalan kemudian adalah, bilakah seseorang dapat di sebut sebagai
muslim (telah Islam)? Di sini, Rasulullah memberikan batasan seseorang dapat di
sebut sebagai muslim melalui sabdanya,
“Aku di
perintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah, percaya kepadaku dan apa yang aku bawa. Apabila mereka melakukan
hal tersebut, maka darah dan harta mereka terpelihara dariku, kecuali dengan
hak. Dan perhitungan mereka ada pada Allah.
Demikian pula sabda beliau saw, sebagaimana
riwayat bukhari, yang menyitir bahwa mereka yang telah mengucapkan kalimat
syahadat dan di dalam hatinya ada kebaikan walaupun sebesar biji gandum atau
sawi, maka mereka berhak untuk tidak kekal selamanya di neraka, karna masih ada
keimanan dalam dirinya. Maka kembali ke persoalan semula: bilakah seorang
dikatakan keluar dari Islam? Adakah melakukan suatu kemaksiatan yang di larang Allah
atau meninggalkan suatu kewajiban dari kewajiban-kewajiban agama dapat membuat
seseorang keluar dari Islam dan kehilangan hak-haknya sebagai muslim?
Dalam Qs. an-Nisa’ [4]: 116, Allah swt.
Berfirman:
“Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa
yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-nya”.
Demikian pula dalam potongan hadits yang cukup panjang, Rasulullah saw.
Bersabda,
“… Itulah Jibril
yang datang kepadaku dan berkata, ‘Barang siapa yang mati dari umatmu dalam
keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain, maka ia masuk surga. ‘aku
berkata, ‘Meskipun ia berzina, meskipun ia mencuri? ‘Jibril menjawab, ‘(Ya),
meskipun ia berzina, meskipun ia mencuri”.
Nash-nash al-Qur’an dan sunnah di atas menjelaskan secara eksplisit
bahwa, meskipun amal-amal lahiriah merupakan refleksi dan pengejauantahan dari
keimanan yang ada dalam hati, tetapi seorang muslim yang melakukan perbuatan
dosa dan melanggar larangan-larangan al-Qur’an dan/atau Sunnah, perbuatannya
itu tidak menyebabkan ia lantas keluar dari agama (Islam), selama ia meyakini
kebenaran nash-nash itu dan kewajiban mengikutinya. Ia hanya di anggap berbuat
dosa karna telah melanggar perintah atau larangan agama. Oleh karnanya,
Rasulullah saw. Menyatakan bahwa keimanan dalam pengertian “keyakinan dalam
hati” sebagaimana di jelaskan di atas dapat menyelamatkan seseorang dari siksa
neraka. Sahabat Anas ra. Menceritakan bahwa;
Seorang pemuda
Yahudi pernah melayani nabisaw. (Suatu hari) pemuda Yahudi itu jatuh sakit.
Nabi saw. Pun datang membesuknya dan duduk di dekat kepalanya. Nabi berkata
kepadanya, ‘Masuk Islamlah!’ pemuda itu menoleh kea rah ayahnya yang ada di
dekatnya. Sang ayahpun berkata kepadanya, “Ikuti Abul Qasim (Nabi saw). Pemuda
itu pun kemudian masuk Islam dan meninggal. Nabi saw. Kemudian berkata, ‘Segala
puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dari Neraka’.” (HR. Bukhari dan Abu
Dawud)
Demikian pengertian Iman dan Islam memang dapat dibedakan, meskipun
memiliki keterkaitan.
Adapun kata kafir-kata benda pelaku yang berasal dari mashdar
al-kufr-secara etimologis berarti “tertutup” (as-sitr). Dalam pengertian
terminology-syar’i-nya, al-kufr adalah “pengingkaran atas hal-hal yang di
wajibkan Allah untuk diimani”. Maka kufur secara terminologis ini mencangkup
apa yang di sebut dengan kufr mu’anadah (bila mengingkari dan menentang semua
atau sebagian perintah atau larangan Allah), dan kufr nifaq (bila ucapan
beriman bertolak belakang dengan pengingkaran yang ada dalam hatinya). Semua
jenis kufur ini termasuk kekufuran yang tidak terampuni sebagaimana firman Allah
swt. Dalam Qs.an-nisa’ [4]: 116.
Jadi, berdasarkan pengertian dari beberapa istilah dasar teologis yang
bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana dipaparkan di atas, dapatlah
dikatakan bahwa seorang muslim yang melakukan suatu perbuatan dosa, namun ia
sadar perbuatannya itu adalah sebentuk kemaksiatan yang akan mendapatkan murka
dan siksa Allah, maka perbuatan dosanya itu tidak mengeluarkanya dari keimanan,
ia tetap seorang muslim yang berhak mendapatkan hak-hak sebagai seorang muslim.
Dengan kata lain, selama seorang muslim masih meyakini prinsip-prinsip
keimanan, maka perbuatan-perbuatan dosa apa pun-besar atau kecil-tidak
mengeluarkannya dari Islam atau golongan orang-orang mukmin. Mereka yang masih
memiliki keimanan dan tidak mengingkari kewajiban-kewajiban agama, tetapi
terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan kemaksiatan, tidak di sebut sebagai
kafir yang kekal di neraka, melainkan pelaku maksiat (‘ashi) atau fasiq yang
masih tergolong mukmin dan muslim.
Berbeda dengan penganut Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa besar,
dalam literatur Islam-Sunni, seorang fasiq yang melakukan perbuatan dosa
bukanlah kafir yang kekal di neraka. Adapun beberapa ayat al-Qur’an yang
zhahirnya menyatakan kekelan para pelaku maksiat (‘ushah) di neraka, seperti
dalam Qs. an-Nisa’ [4]: 14, yang di maksud pelaku maksiat di sini adalah kemaksiatan
dalam arti kekufuran (pengingkaran). Adapun pelaku kemaksiatan dosa-dosa besar
atau kecil tanpa merusak keimanan di dalam hatinya, maka ia tidak kekal di
neraka sebagaimana halnya orang kafir. Penafsiran seperti ini di dukung firman Allah
dalam Qs. al-Furqan [25]: 68-69, yang menyitir tentang para pelaku dosa besar
yang akan mendapatkan balasan keburukan di neraka. Namun, mereka di anggap
sebagai mukmin yang tidak kekal di dalam neraka sebagaimana halnya orang kafir,
karna ayat-ayat tersebut di lanjutkan dengan firman Allah swt,
“Kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu
kejahatan mereka di ganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha
pengampun lagi maha penyayang”. (Qs al-Furqan [25]: 70)
Tentu saja ini tidak berarti seseorang tidak di perbolehkan meremehkan
dan menganggap enteng perbuatan-perbuatan maksiat, sekecil apapun kemaksitan
itu. Sesungguhnya Allah, sebagaimana bunyi salah satu sabda Nabi saw, “Sangat
‘tidak senang’ larangan-larangannya dilanggar, melebihi ‘ketidaksenangan’
seorang lelaki yang kehormatan diri dan keluarganya di rusak.” Tetapi,tentu
kita juga harus membedakan antara pelaku maksiat (fasiq) dan pengingkar Allah
dan rasulnya (kafir). Kafir dan fasiq adalah dua istilah yang berbeda, yang
implikasi hukumnya di dunia dan di akhirat juga berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar