Persoalannya kemudian adalah bahwa
kelompok-kelompok radikal yang muncul di Dunia Islam ini tampaknya cenderung
simplistic dalam memahami ayat 44 surah al-ma’idah ini. Mereka kerap melabelkan
para penguasa di Negara-negara mayoritas
Muslim yang,dalam pangdangan mereka, tidak menerapkan hukum Allah, sebagai kafir,
sehingga berhak “diperangi”. Adalah suatu hal yang sangat disayangkan bila
dalam pandangan simplistic kelompok radikalis ini hamper seluruh Negara Arab-Islam
dewasa terkena lebel sebagai Negara kafir.
Dalam analisis M. S Ramadhan al-Buthi, ulama terkemuka asal Suriah,
pandangan simplistik ini sesungguhnya mengandung dua kesalahan fatal dalam
pandangan semua aliran pemikiran Islam, kecuali Khawarij. Pertama, pandangan
simplistik itu akan mengakibatkan terjadinya pengafiran missal tanpa melihat
individu-individu muslim secara perorangan; dan Kedua, munculnya asumsi bahwa
setiap pelanggaran hukum Allah sebagai kafir,tanpa melihat lebih jauh motivasi
dan alasan-alasan yang melatarbelakangi terjadinya pelanggaran itu.
Sebab,boleh jadi seorang Muslim tidak melaksanakan syariah Islam bukan
karena pengingkaran dan pelecehan atas hukum Allah, melainkan kerena alas an
kemalasan, dorongan hawa nafsu,interes-interes keduniaan, atau alas an lain
yang bukan yang bukan pengingkaran dan pelecehan. Secara demikian, sebelum
vonis kafir dijatuhkan,seseorang harus memverifikasi alas an orang per orang
mengapa mereka tidak melaksanakan Hukum Islam. Bila alasan-alasan dibalik itu
belum ditemukan, maka keIslaman seseorang tidak boleh diganggu gugat berdasarka
kaidah “Suatu prinsip adalah tetapnya sesuatu sebagaimana” (al-ashlu baqa’u ma kana’ala ma kana).
Yang perlu ditegaskan kembali adalah bahwa, sesuai dengan pendapat
seluruh aliran kalam dan fiqih Islam-kesuali aliran khawarij yang radikal dan
menyimpang-pengafiran (takfir) adalah persoalan akidah. Bila perkataan dan
perbuatan seseorang Muslim telah secara jelas dan menyakinkan bertentengan
dengan prinsip-prinsip akidah Islam, diantaranya melecehkan dan mengingkari
hukum-hukum Allah, maka ia dapat disebut sebagai telah keluar dari Islam
(kafir). Namun, bila tidak terdapat bukti yang jelas dan menyakinkan bahwa ia
telah menghina dan melecehkan hukum Allah karena adanya kemungkinan-kemungkinan
atau alas an lain, maka pelanggaran yang dilakukan tidak dapat dikategorikan
sebagai perbuatan kafir, paling jauh sebagai pendosa yang fasik. Adapun hakikat
yang ada di dalam hatinya, kita serahkan kepada Allah yang Mahatau,nahkumu bi al-zhawahir wa-llah yatawalla
al-sara’ir.
Sampai titik ini, ada baiknya kita mengutip
perkataan Imam Ahmad, seorang ulama yang dikenal dangat tegas dalam menjalankan
hukum-hukum Allah, untuk mendukung kesepakatan seluruh aliran kalam dan fiqih Islam-terkecuali
khawarij-tentang persoalan takfir sebagaimana dijelaskan di atas. Sebagaimana
disampaikan oleh Ibnu Qudamah, Iman Ahmad pernah berkata:
“Barang
siapa yang mengatakan khamar adalah halal,maka ia telah kafir yang diminta
untuk bertobat. Bila bertobat, maka ia kembali menjadi muslim; bila tidak, ia
boleh dibunuh. Tetapi pengafiran ini harus dibatasi bagi mereka yang sengaja
menghalalkan apa yang telah pasti pengaharamannya, atau meminum khamar, mereka
tidak bisa divonis fafir (murtad) begitu saja, baik mereka melakukannnya dia
Darul Harb atau di Darul Isalm. Sebab, boleh jadi mereka melakukan hal-hal itu
dengan tetap menyakini keharamannya. Demikian pula halnya bentuk-bentuk
pelanggaran lainnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar