Satu hal
yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks
keagamaan, melainkan juga pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan
kemurniaan teks al-Qur’an dan Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan
lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan
fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat
al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung
kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada
prinsip-prinsip kebahasaan dan syariat Islam.
Lebih problematis lagi ketika
teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam memahaminya diperlukan
pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid)
di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah
Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan mempunyai
implikasi hukum yang harus diikuti (tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya
kita akan mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama,
seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi, juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang
tidak berimpilasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan
keduniaan. Dia antara ulama yang mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atas adalah
al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid
Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga
al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur, Mufti Tunis dan pengarang tafsir at-Tahrir wa
at-Tanwir.
Contoh khasus yang sering
dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan menemukan masyarakat di
situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari pohon korma agar
produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan agar mereka tidak
melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang,
dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah.
Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku
hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka
ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku
hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau
menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian
lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits
tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat
dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah
salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma,
sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan
perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran
agama yang harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak
seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal
teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih
tahu dari Rasul. Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab
penjelasan (syarah) Shahih Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di
bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma
qalahu syar’an, duna ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi
ad-dunya ‘ala sabil al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang
berupa syariat agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul
berdasarkan pendapat).
Pada
bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di
sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik
krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang
terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak
jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan
terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman
yang begitu longgar, bahkan liberal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar