Senin, 10 Desember 2012

Syariat Islam dan Prakteknya

Satu hal yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks keagamaan, melainkan juga pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurniaan teks al-Qur’an dan Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syariat Islam.

            Lebih problematis lagi ketika teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi, juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang tidak berimpilasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Dia antara ulama yang mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atas  adalah  al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur, Mufti Tunis dan pengarang tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.

            Contoh khasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari pohon korma agar produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma, sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab penjelasan (syarah) Shahih Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma qalahu syar’an, duna ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi ad-dunya ‘ala sabil al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syariat agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).

      Pada bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar, bahkan liberal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar