Mereka mewarisi kejumudan zhahiriyah masa lampau. Di antara
cirinya dalam pemahaman teks:
a.
Memahami teks secara literal (harfiyah)
dan kaku, tanpa melihat ^iliai atau maqashid di balik teks.
b.
Cenderung keras (tasyaddud), mempersulit
dan berlebihan (al-ghuluww).
c.
Menganggap dirinya yang paling
benar, dan lainnya salah.
d.
Tidak menolerir perbedaan pendapat
atau pandangan.
e.
Berburuk sangka dan bahkan
mengafirkan pandangan yang berbeda.
Di antara produk pemikirannya saat ini: uang kertas yang beredar
saat ini bukan uang syar'i seperti dalam al-Qur'an dan Sunnah sehingga tidak
wajib dizakatkan; Zakat fithrah hanya dapat dilakukan dengan bahan makanan,
tidak dapat diganti uang; Televisi dan fotografi haram berdasarkan Hadits yang
melaknat mushawwiru).
2.
Neo-Bathiniyyah
Perasaan inferiority complex yang dialami umat Islam
melahirkan sikap kagum terhadap prototype peradaban Barat yang maju,
sehingga menjadi dasar sebagian kalangan untuk menetapkan hukum-hukum agama
walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang tsawdbit, bahkan
meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat
memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang.
Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realitas dilakukan
melalui upaya mencari maqdshid syari'ah yang diduga berada di balik
simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran
akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya.
Yusuf al-Qardhawi menamakan kelompok ini dengan "al-Mu'aththilah
al-Judud" (Neo-Mu'aththilah). Kalau mu'aththilah klasik bermain
pada tataran akidah, neo-mu'aththilah bermain pada tataran akidah, neo-mu’aththilah bermain pada
tataran syariah.
Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia modern
terjadi upaya meruntuhkan syariah seperti pada hukum keluarga, warisan, kudud,
dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan
konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzul-nya.
Secara umum, kelompok ini bercirikan tidak mendalami sumber,
prinsip, dan hukum syariah dengan baik, serta memiliki keberanian mengungkap
pendapat meski tidak didukung argumentasi yang kuat.
Pijakan dalam
memahami teks:
1.
Mengedepankan akal daripada
wahyu. Akal dapat menentukan mana yang lebih maslahat untuk dilakukan meskipun
harus berbenturan dengan nash syar'i.
2.
Dengan dalih maslahat, Umar
bin Khaththab telah mengalahkan nash seperti pada kasus al-mu'allafah
qulubuhum yang tidak diberi zakat, menafikan hukum potong tangan saat
paceklik terjadi dan lainnya.
3.
Ungkapan yang sering
disebut berasal dari Ibnu al-Qayyim, "Di mana ada maslahat di situ ada
syariah", padahal ungkapan tersebut berlaku pada kasus yang tidak ada
nashnya, atau jika ada, mengandung berbagai kemungkinan yang dapat ditentukan
melalui mana yang lebih maslahat. Ungkapan yang tepat, "di mana ada
syariah di situ ada maslahat".
4.
Teks-teks yang ada harus
dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan
dengan sabab nuzul-nya. Al-'Ibrah bi khushush as-sabab, la bi 'umum
al-lafzh, demikian ungkapan yang sering digunakan.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar