Dalam Ramus Besar Bahasa Indonesia kekerasan didefinisikan
dengan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1]
Dalam bahasa Arab, kekerasan disebut dengan al-'unf, antonim al-rifq yang
berarti lemah lembut dan kasih sayang. Pakar hukum Universitas al-Azhar,
Abdullah an-Najjar, mendefinisikan al-'unf dengan penggunaan kekuatan secara
ilegal (main hakim sendiri) untuk memaksakan pendapat atau kehendak.[2]
Dari beberapa pengertian di atas,
kekerasan melambangkan sebuah upaya merebut suatu tuntutan dengan kekuatan dan
paksaan terhadap pihak lain. Cara seperti ini tentu tidak terpuji dalam
pandangan agama-agama dan nilai-nilai kemanusiaan, sebab kekuatan akal, jiwa, dan harta yang seharusnya digunakan untuk
hal-hal yang produktif bagi pengembangan diri dan masyarakat berubah menjadi
kekuatan yang destruktif. Tetapi penggunaan kekerasan tidak selamanya tercela,
yaitu bilamana digunakan untuk merebut hak yang terampas seperti pada
perlawanan melawan penjajah atau memberantas kezaliman dalam masyarakat,
terutama bila jalan damai tidak tercapai. Kekerasan menjadi tercela bilamana
digunakan untuk membela satu hal yang dianggap benar dalam pandangan yang
sempit, atau merebut hak yang sebenarnya dapat diperoleh tanpa melalui
kekerasan.[3]
Sejarah kemanusiaan mencatat, seperti terekam dalam al-Qur'an,
aksi kekerasan yang berupa pembunuhan pertama kali terjadi antara kedua anak
Nabi Adam as; Qabil dan Habil. Al-Qur'an menceritakan itu agar fenomena
kekerasan tidak terulang dan setiap aksi kekerasan pasti akan menimbulkan
goncangan jiwa dan penyesalan yang mendalam dalam diri pelakunya seperti
dialami oleh Qabil (Baca Ja’sah tersebut dalam QS. al-Ma'idah [5]: 27-31).
Karena itu, al-Qur'an memberi ketentuan, membunuh satu jiwa tanpa alasan yang
benar sama halnya dengan membunuh seluruh/ umat manusia (QS.
al-Ma'idah [5]: 32). Dalam sejarah kenabian, kekerasan dialami oleh banyak nabi
dari kalangan Bani Israil. Tidak sedikit para nabi yang dibunuh dalam
menjalankan tugas kenabian (QS. al-Baqarah [2]: 61; QS. Ali 'Imran [3]: 21).
Dalam konteks ayat-aya di atas. al-Qur'an berbicara
tentang kekerasan dalam pengertian negatif yang dikecamnya meski kata al-'unf
sendiri tidak digunakan dalam al-Qur'an. Penggunaan kata al-'unf tampak
jelas dalam beberapa Hadits Nabi saw. seperti:
"Sesungguhnya Allah sivt.
tidak mengutusku untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk mengajarkan dan memudahkan”.[4]
"Sesungguhnya Allah swt. Mahalembut/Mahakasih-sayang. Melalui
sikap kasih sayang Allah akan mendatangkan banyak hal positif, tidak seperti
halnya pada kekerasan.”[5]
Suatu ketika sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi saw dan mengucapkan
salam dengan diplesetkan menjadi, as-Samu Alaikum (kematian/kecelakaan
untuk kalian). Dengan marah Aisyah, istri
beliau menjawab: Alaykum,
wa la'anakumulldh wa
ghadhiballahu 'alaikum (Kecelakaan untuk kalian, semoga Allah melaknat dan
memurkai kalian). Lalu Rasulullah mengingatkan Aisyah, "Kamu harus
berlemah-lembut, jangan melakukan kekerasan (al-'unf) dan kekejian.[6]
Dari penjelasan al-Qur'an dan Hadits di atas tampak jelas Islam
sebagai agama yang antikekerasan terhadap siapa pun, termasuk yang berlainan
agama.
Salah satu bentuk kekerasan yang menimbulkan kengerian dan
kepanikan masyarakat dunia saat ini adalah terorisme. Kepanikan tersebut
mengakibatkan ketidakjelasan pada definisi terorisme itu sendiri, sehingga
tidak jarang pemberantasan terorisme dilakukan dengan melakukan aksi teror
lainnya. Meskipun dalam sejarah kemanusiaan aksi teror telah menjadi bagian dari fenomena, kekacauan politik yang ada, tetapi sebagian kalangan mengaitkannya
dengan agama Islam dan peradaban Arab dan Islam. Padahal,
terorisme adalah fenomena umum, tidak terkait dengan agama, budaya, dan
identitas kelompok tertentu.
Istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun
1793 sebagai 3 akibat Revolusi Prancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan
era baru yang disebut Reign of Terror (10 Maret 1793 - 27 Juli 1794). Teror menjadi agenda penting para pengawal
revolusi dan menjadi keputusan pemerintah untuk mengukuhkan stabilitas politik.
Sasarannya bukan hanya lawan politik, tetapi juga tokoh-tokoh moderat, pedagang,
agamawan, dan lain sebagainya. Selama berlangsung Revolusi Prancis, Robespierre
dan yang sejalan dengannya seperti St. Just dan Couthon melancarkan kekerasan
politik dengan membunuh 1366 penduduk Prancis, laki-laki dan perempuan, hanya
dalam waktu 6 minggu terakhir dari masa teror.[7]
Dalam kamus Oxford, kata terrorist diartikan dengan
orang yang melakukan kekerasan terorganisir untuk mencapai tujuan politik
tertentu. Aksinya disebut terrorisme, yaitu penggunaan kekerasan dan
kengerian atau ancaman, terutama untuk tujuan-tujuan politis.[8]
Dalam bahasa Arab, istilah vang populer untuk aksi ini adalah dan
pelakunya disebut al-Irhdbi. Para penyusun al-Mu'jam al-Wasith memberikan
arti al-Irhdbi dengan, "sifat yang dimiliki oleh mereka yang
menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan
politik".[9]
Al-lrhab dengan pengertian
semacam ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an dan kamus-kamus bahasa Arab klasik,
sebab itu istilah baru yang belum dikenal pada masa lampau. Bahkan, penggunaan
kata ini dalam bentuk derivasinya, turhibun atau lainnya, dalam
al-Qur'an seperti pada QS. al-Anfal [8]: 60 bermakna positif. Sebab, melalui
ayat ini Allah memerintahkan umat beriman untuk mempersiapkan diri dengan
berbekal kekuatan apa saja yang dapat menggentarkan (turhibun) musuh-musuh
Allah dan musuh-musuh mereka.
Tidak berbeda jauh dengan pengertian di atas, Kamus besar
Bahasa Indonesia mendefinisikan teror dengan usaha menciptakan ketakutan,
kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme: penggunaan
kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama
tujuan politik).
Organisasi-organisasi internasional, seperti PBB,
mendefinisi-kannya dengan salah satu bentuk kekerasan terorganisir. Bentuknya,
seperti disepakati masyarakat dunia, dapat berupa pembunuhan, penyiksaan,
penculikan, penyanderaan tawanan, peledakan bom atau bahan peledak, dan lainnya
yang dapat menjadi pesan pelaku teror. Aksi tersebut biasanya untuk tujuan
politik, yaitu memaksa kekuatan politik tertentu, negara atau kelompok, agar
mengambil kebijakan atau mengubahnya sesuai yang diinginkan pelaku.[10]
Dalam Sidang Umum ke-83, tanggal 8 Desember 1998, PBB mengecam segala bentuk
kekerasan aksi teror dengan alasan apa pun, termasuk yang bermotifkan politik,
filsafat, akidah/keyakinan, ras, agama, dan lainnya.
Agen Rahasia Amerika (CIA) pada tahun 1980 mendefinisikan
terorisme dengan; ancaman yang menggunakan kekerasan, atau menggunakan
kekerasan untuk tujuan-tujuan politik, baik yang dilakukan oleh individu maupun
kelompok, untuk kepentingan negara ataupun melawan negara. Masuk dalam definisi
ini kelompok-kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahan tertentu atau
menghancurkan tatanan dunia internasional.
Definisi ini masih sangat umum, sehingga perlawanan rakyat untuk
memperoleh hak-hak yang dirampas, seperti perjuangan bangsa Palestina dapat
dikategorikan aksi terorisme. Karena itu para sarjana Muslim yang terhimpun
dalam keanggotaan Majma' al-Fiqh al-Isldmi dalam sidang putaran ke-14 di
Doha, Qatar, 8-13 Dzulqa'dah 1423 H/ll-16 Januari 2003, menegaskan bahwa
terorisme adalah permusuhan, atau intimidasi, atau ancaman, baik fisik maupun
psikis, yang dilakukan oleh negara, kelompok maupun perorangan, terhadap
seseorang yang menyangkut keyakinan (agama), jiwa, harga diri, akal dan
hartanya, tanpa alasan yang benar, melalui berbagai aksi yang merusak. Lembaga
ini juga menegaskan, jihad dan upaya mati syahid untuk membela akidah,
kebebasan/ kemerdekaan, harga diri bangsa dan tanah air bukanlah bentuk teror,
tetapi upaya membela hak-hak prinsipil. Karena itu, bagi bangsa-bangsa yang
tertindas atau terjajah harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh
kemerdekaan.[11]
Dari paparan di atas tampak
perbedaan yang cukup mendasar dalam mendefinisikan terorisme. Perbedaan itu
mengakibatkan kekaburan makna yang sebenarnya, sebab suatu perjuangan rakyat
untuk meraih kemerdekaan atau lepas dari ketertindasan dapat dinilai sebagai
aksi teror oleh pihak lain. Demikian sebaliknya, aksi kekerasan dan kezaliman
menjadi legal dengan dalih menumpas terorisme. Karena itu tak heran, kendati
masyarakat dunia telah sepakat mengecam terorisme, tetapi upaya
pemberantasannya dalam bentuk kerja sama internasional selalu gagal.
Namun, dari beberapa definisi
di atas dapat disimpulkan beberapa ciri terorisme, antara lain: menciptakan
suasana mencekam dan mengerikan, dilakukan secara terorganisir, bertujuan
politik dan bersifat internasional. Untuk mengetahui sikap Islam terhadap
kekerasan, apa pun bentuknya, terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa istilah
terkait dengan kekerasan dan terorisme dalam al-Qur'an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar