“Apabila
sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di
mana saja kamu jumpai mereka, tangkaplah mereka, tawanlah mereka, dan intailah
di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Taubah [9]:
5)
Ayat tersebut di atas adalah satu
dari sejumlah ayat pada permulaan QS. At-Taubah yang membicarakan pemutusan
hubungan (bara’ah) dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik (ayat
1-16). Dengan pemutusan hubungan itu, tidak berlaku perjanjian yang telah
dijalin oleh orang-orang Muslim dengan orang-orang musyrik. Yang dimaksud ialah
perjanjian untuk tidak saling berperang. Orang-orang musyrik diberi tengang
waktu empat bulan untuk berfikir, apakah akan tunduk kepada kekuasaan imat Islam
atau melawan. Selama empat bulan itu, orang-orang muslim tidak boleh memerangi
atau mengganggu orang-orang musyrik. Sesudah habis masa tengang waktu itu,
orang Islam boleh memerangi orang musyrik, melawan mereka dan mengintai mereka
keberadaan mereka di mana pun berada, sehinga keadaan menjadi aman dan umat Islam tidak tertanggu dalam
menjalankan agama oleh kajahatan orang-orang musyrik. Akan tetapi, apabila
mereka bertaubat, menjalankan shalat, dan membayar zakat, maka mereka diberi
kebegbasan keselamatan.
Pemutusan hubungan itu diumumkan
kepada orang-orang musyrik pada bulan Haji tahun ke-9 H. Ketika itu, umat Islam
sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Rasulullah saw. mengangkat sahabat Abu
Bakar menjadi pemimpin rombongan dari madinah menuju ke Mekkah. Setelah
keberangkatan rombongan, turunlah ayat-ayat Bara’ah itu dan Rasulullah saw.
mengutus sahabat Ali bin Abi Thalib agar mengumumkannya kepada semua pihak
yaitu kepada kaum muslim dan kaum musyrik yang pada saat itu sedang berkumpul
untuk melaksanakan haji sesuai kebiasaan mereka. Pada hari yang disebut dalam
Al-Qur’an hari Haji Akbar, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pengumuman tentang
pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada kaum musyrik.
Pengumuman itu
disampaikan pada hari-hari ketika Haji Akbar dilaksanakan pada tahun ke-9 H.
ada yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada hari Nahar, tanggal
10 Dzulhijah. Ada juga yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada
hari ‘arafah, tanggal 9 Dzulhijah. Adapun yang dimaksud dengan Haji Akbar (Haji
Besar) ialah ibadah haji yang dilaksanakan p[ada bulan Dzulhijah, dibedakan
dengan umrah disebut haji ashghar (haji kecil), yang boleh dilaksanakan
sepanjang tahun. Inilah yang dimaksud dengan Haji Akbar. Di dalam masyarakat
terdapat pemahaman bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah apabila wuquf
jatuh pada hari jumat. Pendapat tersebut tidak ditemukan dasarnya di dalam
ajaran Islam.
Marilah kita
kembali kepada surah at-Taubah ayat 5 tersebut di atas. “ Faidza insalakha
al-asyhur al-hurum faqtulu al-musyrikin haitsu wajadtumuhum…”, (Apabila sudah
habis bulan-bulan Haram itu, maka bunhlah orang-orang musyrik itu di mana saja
kamu jumpai mereka), baik di tanah Haram maupun di luar tanah haram. Adapun
yang di maksud dengan “asyhur al-hurum” ialah empat bulan merujuk kepada ayat 2
surah at-taubah, “fasihu fi al-ardhi arba’ata asyhur”, (empat bulan sesudah
pengumuman pemutusan hubungan), dimulai tanggal 10 Dzulhijah sampai 10 Rabi’ul
Akhir. Selama empat bulan itu, kaum Muslim memperoleh jaminan keselamatan.
Sesudah masa tenggang waktu empat bulan itu usai, berlaku keadaan perang
sebagaimana sebelumnya. “Wa’akhudzhum, wahshuruhumwaq’udu lahum kulla marshad”
(Dan tangkaplah mereka,tawanlah mereka dan intailah ditempat pengintaian). Ayat tersebut berisi perintah agar
bermacam-macam cara yang tepat dalam strategi perang dilakukan sehingga kaum
musyrik tidak memunyai kekuatan dan tidak ada jalan untuk melakukan kejahatan
atau melangar aturan yang berlaku dalam ketentuan pemutusan hubungan. Di
antaranya bahwa mereka tidak diperbolehkan melaksanakan haji dan berthawaf
tanpa busana. “ Fain tabu wa aqamush shalata wa atuz zakata fakhallu
sabilahum.” Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,maka
berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Ayat ini memberikan pengertian
agar perang dihentikan apabila kaum muslim bertaubat, yakni bertaubat dari
kemusyrikan yang menjadi penyebab memusuhi umat Islam, dan taubat itu
dibuktikan kesungguhannya dengan mengerjakan shalat dan membayar zakat. ayat
ini diakhiri dengan firman Allah,” Inna Allah Ghafurun rahim” (sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang), yakni mengampuni dosa-dosa kaum
musyrik apabila mereka bertaubat, dan memberikan kasih saying kepada hamba-Nya
yang beriman.
Ayat tersebut
diatas dinamakan ayat perang (ayat al-qital) karena mengandung perintah
berperang. Selain ayat tersebut terdapat beberapa ayat lain yang mengandung
perintah berperang, antara lain surah at-taubah [9]:29; al-baqoroh
[2]:190;al-anfal [8]:39 dan sebagainya. Ada sebagian orang yang berpendapat
bahwa ayat-ayat perang tersebut di atas me-mansukh-kan dalam arti membatalkan berlakunya ayat-ayat
yang mengandung perintah member maaf kepada orang yang tidak beriman(ayat
al-afw). Menurut sebagian musafir, yang dikutif pendapatnya oleh Ibn Katsir,
bahwa surah al-Baqoroh [2]: 109 (fa’fu washfahu hatta ya’tiya Allah bi Amrihi)
di-nasakh oleh at-Taubah [9]:5 (faqtulu al-musyrikina haitsu wajadtumuhum)dan
at-taubah [9]:29 (Qatilu alladzina layu’minuna bi Allah wa bi al-yawm
al-akhir). Demikian pendapat Ali bin Abi thalhah dari Ibn ‘Abbas. Demikian juga
pendapat Abul ‘Aliyah ar-Rabi’ bin Anas,Qatadah dan as-Suddi, bahwa ayat al-afw
tersebut di atas di-mansukh oleh ayat al-sayf.
[1]
Perlu dijelaskan
bahwa ayat al-afw, yaitu ayat yang mengandung arti pemberian maaf kepada
orang-orang kafir, diturunkan dalam periode Mekkah, ketika kondisi umat Islam
lemah dan jumlahnya sedikit. Pada waktu itu, diperintahkan agar mereka bersabar
dan menahan diri betapapun beratnya menghadapi penganiayaan kaum
musyrik.sedangkan ayat qital diturunkan ketika kondisi umat Islam telah kuat,
dan banyak jumlahnya. Mereka diperintahkan agar memerangi orang musyrik
sebagaimana orang-orang musyrik itu memerangi mereka. Jadi,dalam hal ini tidak
ada hukum yang dibatalkan, tetapi penundaan berlakunya perintah melakukan suatu
perbuatan yaitu peperangan untuk melawan musuh-musuh Islam karena perbedaan
dari kondisi-kondisi yang terjadi pada umat Islam ketika itu.
Dalam menjelaskan
kaitan antara ayat al-afw dan ayat al-qital, as-suyuthi berkata di dalam
al-itqan bahwa persoalan yang terjadi di sini sesungguhnya bukanlah naskh
(pembatalan hukum ) tetapi penundaan (al-mansa’) merujuk kepada firman Allah:
“Kami tidak
menasakhkan satu ayat pun atau kami menjangguhkan (hukumnya) (kecuali) kami
datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah
engkau mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu?.”(QS.al-Baqoroh
[2]:106)
Lebih lanjut, as-Suyuti menjelaskan
bahwa Surah al-Baqoroh [2]:109 mengandung makna menunjuk kepada waktu dan
keadaan tertentu yang hendak dicapai. Apa yang menunjuk kepada waktu dan tujuan
adalah muhkam, tidak dibatalkan, karena ditentukan waktunya. Sesuatu yang
ditentukan waktunya tidak ada naskh di dalamnya. Demikian as-Suyuthi
menjelaskan di dalam kitabnya,al-Itqan:
“syekh
Syaltut mengemukakan di dalam kitabnya al-Qur’an wa al-Qital, ada sebagian
orang yang secara keliru memahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu mengandung
kontradiksi. Di satu pihak, ada ayat-ayat yang mengandung perintah perang; ada
yang bersifat defensive;dan ada yang bersifat umum tanpa dibatasi kepada
orang-orang yang memerangi umat Islam. Di lain pihak, ada ayat-ayat yang
menganjurkan perdamaian dan member maaf. Dengan pemahaman itu, orang-orang yang
membenci Islam berkata bahwa kitab al-Quran tidak mungkin merupakan wahyu Allah
yang diturunkan kepada Nabi. Di lain pihak, terdapat pendapat bahwa sebagian
ayat-ayat al-Quran menaskhkan ayat-ayat lainnya.dalam hal ini ayat-ayat qital
yang diturunkan ketika Islam telah kuat dan kota Mekah telah ditaklikan itu
memansukhkan ayat-ayat pemberian maaf dan perdamaian dan ayat-ayat yang
mengandung pengertian tidak ada pemaksaan dalam agama. Selanjutnya, pemahaman
tersebut membawa kepada pendapat pendapat bahwa Islam adalah agama yang
disebarluaskan dengan kekerasan melalui peperangan.”
Dalam memahami ayat al-Qur’an,
hendaknya akita tidak memahaminya sepotong-sepotong, tetapi hendaknya memahami
suatu ayat dalam kaitannya dengan ayat lain, dengan pemahaman yang utuh dan
komprehensif. Setiap ayat hendaknya kita pahami sesuai dengan konteknya tanpa
terlepas dari ayat lain yang berkaitan. Didapati bahwa di dalam al-Qur’an terdapat
perintah berperang tetapi juga dijelaskan sebab-sebabnya dan tujuan yang hendak
dicapai dengan peprangan itu. Dalam pada itu, kita mendapati pula tentang
ayat-ayat yang menjelaskan tentang watak Islam sebagai agama dakwah yang
menyatakan bahwa tidak ada pemaksaan di dalam agama. Tidak ada satu ayat pun di
dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa peprangan itu bertujuan untuk memaksa
orang untuk masuk Islam. Demikian salah satu kesimpulan dari kajian Syekh
Mahmud Syaltut, di dalam kitabnya al-Qur’an wa al Qital. Syekh Syaltut
menjelaskan pula bahwa tujuan peprangan adalah untuk menghentikan kezaliman dan
penganiayaan, untuk mewujudkan keamanan dan ketentraman dalam beragama. Dalam
keadaan tidak diperangi tidak dianiaya ataupun di musuhi, umat Islam tidak akan
memerangi umat lainnya, sesuai dengan ajaran al-Quran yang menyatakan tidak ada
paksaan dalam agam,yang mengajak manusia kepada jalan Allah dengan hikmah
(kebenaran, kebijaksanaan, ilmu pengetahuan), maw’izhah hasanah (tutur kata
yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (dialog dan perdebatan dengan cara
yang terbaik). Ayat-ayat perang dan ayat-ayat member maaf, dakwah,dan yang
menyatakan tidak ada paksaan dalam agama bukanlah ayat-ayat al-Quran yang bertentangan satu dengan yang lain, tetapi
masing-masing dari ayat itu harus diletakkan pada konteksnya. Jika kita
memahami ayat-ayat al-Quran yang bertentangan satu dengan yang lain, tetapi
masing-masing dari ayat itu harus diletakkan pada konteksnya. Jika kita memahami
ayat-ayat al-Quran itu secara utuh, kita tidak akan mendapati ada kontradiksi
di dalamnya. Mengenai hal ini, Allah berfirman di dalam Al-Quran:
“Maka apakah
mereka tidak memerhatikan Al-Quran? Seandainya al-Quran itu bukan dari sisi
Allah, niscaya mereka mendapati di dalamnya pertentangan yang banyak.” (QS.al-Nisa[4]:82)
[1] Tafsir Ibn Katsir,
jilid I, h.155-156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar