Pengertian dan Cakupan Mati Syahid
Kata
syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah ayat al-Qur’an.
Diantaranya firman Allah yang menyatakan:
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad),
maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh
Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid
dan orang-orang saleh. Mereka itu teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa [4]:69).
Menurut Tafsir
al- Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang memberi kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik
dengan argument atau penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang
terbunuh di jalan Allah disebut dengan syahid.
Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela agama Allah dan
jiwanya demi membela agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama
Allah itu yang benar. Lain dari itu adalah batil( ar-Razi, 1995: jilid 5, h.
180). Dalam ungkapan yang lain, penulis at-
Tafsir al-Wadhih menerangkan, bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan
kebenaran dengan alasan dan bukti serta berperang di jalan Allah dengan pedang
dan tombak hingga ia terbunuh (Hijazi, 1969: juz 5, h.32). Dalam pandangan
kedua musafir itu, senjata yang
digunakan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang
digunakan pada masa al-Qur’an diturunkan.
Menurut penulis Tafsir Majma’ al-Bayan, syuhada adalah orang-orang terbunuh di
jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang muslim sangat dianjurkan untuk
mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh mendambakan dibunuh orang kafir
sebab pebuatan itu adalah maksiat, yang terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam
menegakan kebenaran karena Allah, mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh
karena itu Syuhada adalah predikat terpuji. Orang boleh mendambakan predikat
itu, tetapi orang tidak boleh mendambakan dibunuh oleh orang kafir,sebab
perbuatan itu adalah maksiat (ath-Thabari,1994: jilid 3, h. 121).
Penegasan yang hampir sama
dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar
mati terbunuh di tangan orang kafir tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu
adalah suatu bentuk kekafiran (Lihat ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180).
Berkaitan dengan itu, Rasulullah
SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan :
Barang siapa
memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya sampai pada
derajat kesyahidan, meskipun ia mati di atas tempat tidurnya(an-Nawawi, 2005
:245)
Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang
lainnya Rasulullah SA, mengatakan:
Barang siapa
mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur sebagai
syahid” (an-Nawawi, 2005:245).
Berdasarkan kedua hadis di atas,
dapat dipahami bahwa kesyahidan dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang
dimaksud harus dengan jalan yang benar. Selain itu derajat kesyahidan dapat di
peroleh meskipun orang yang bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain,
derajat kesyahidan terletak pada nilai perbuatan seorang muslim yang telah
turut serta berperang di jalan Allah.
Menurut al- Jurjawi, Allah SWT, memberi keutamaan kepada orang yang berjihad
di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: “ Mereka berperang di jalan Allah; sehingga
mereka membunuh atau terbunuh” (Qs. At-Taubah[9]: 111). Itu tidaklah
dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian.
Namun, maksudnya adalah mereka
berperang baik mereka terbunuh atau tidak terbunuh. Jika mereka terbunuh,
maka hal itu adalah sesuatu yang jelas
dan dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap
memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan
diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan
perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti
keluarga,harta benda dan anak-anak (al-Jurjawi,1997: jilid 2, h. 221-222).
Syuhada
dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang Badar. Ketika itu
tentara muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy dari kaum muslimin gugur
sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70 orang. Tentara muslim
yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan
oleh pihak kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan
keberhasilan mereka menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan
menghalau pasukan musuh.
Perang Badar terjadi pada tahun
kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW. Bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah
untuk menghindari gangguan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin
pada periode Mekkah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi
pada periode Madinnah, maka perang antar kedua belah pihak tak dapat dielakan.
Fakta sejarah tersebut, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang
menyatakan:
Janganlah kalian
mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah keadaan yang
sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan mereka, maka tegarlah.
Muttafaqun ‘alaih (an-Nawawi, 2005: 248).
Tentara muslim yang mengikuti
peperangan di jalan Allah terikat dengan
sejumlah ketentuan. Syarat-syarat utuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2)
Islam, 3) Sehat jasmani dan rohani, dan
4) Keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang peperangan, terampil
menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak
pengecut (Khattab, 1989: 56).
Hampir senada dengan penjelasan di
atas, ulama fiqih menyebutkan bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas
beberapa ketentuan, yakni: muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki
bekal yang cukup baginya dan keluarganya hingga jihad selesai (Sabiq, 1983:
jilid 3, h. 32). Ulama fiqih merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang
mencerminkan belas kasih (rahmah) yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan
bahwa kalaupun Islam membolehkan perang sebagai salah satu tuntutan darurat,
maka Islam memberinya batasan tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah
peperangan tidak boleh dibunuh, orang sakit, orang tua jompo, rahib, al-ubbad
(ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga mengharamkan al-mutslah
(penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air, mencemari sumur dan
menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang terluka, mengejar
orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan karena perang itu laksana
tindakan operasi bedah, tidak boleh melampaui tempat penyakit itu berada
v(Sabiq, 1983 : jilid 3, h. 60).
Diriwayatkan dari Anas ra., bahwasanya Nabi SAW.
Bersabda: “ Berangkatlah kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah,
sesuai tuntutan agama(yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh
orang tua jompo, anak yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian
melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian,
dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
(H.R. Abu Daud) (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47).
Orang jompo dan wanita yang dikecualikan
untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi
pertimbangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir
Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid
dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan
akhirat., Istilah syahid akhirat digunakan terhadap : a) orang yang
menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala
macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah
mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan
aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang
melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk
mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad,
et.al., 2004: jilid 2, h. 200).
Pembagian syahid semacam ini dikemukakan
pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as Sunnah(Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).
Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang
memuji orang-orang yang mati syahid, diantaranya:
“Dan janganlah
kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya
mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”(Qs. Al-Baqarah [2]: 154).
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Merka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh untuk terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan besar.” (Qs. At-Taubah
[9]: 111).
Bom Bunuh Diri
Saat ini, tindakan
bom bunuh diri banyak dilakukan di berbagai tempat, biasanya sebagai salah satu
bentuk perlawanan pihak yang lemah terhadap pihak yang lebih kuta. Tindakan bom
bunuh diri biasanya dilakukan terhadap sasaran yang tidak jelas. Tindakan ini tidak hanya menyebabkan pelakunya meninggal
dunia, tetapi biasanya juga menyebabkan kematian banyak orang yang tidak
bersalah. Orang-orang yang menjadi korban sering tidak mempunyai kaitan denan pihak yang
dimusuhi atau memusuhi pihak pelaku bom bunuh diri.
Pelaku bom bunuh diri atau
pendukungnya merujuk kepada hadis-hadis yang menceritakan tentang tindakan
tentara muslim yang menerobos pihak lawan untuk melakukan penyerangan hingga
akhirnya ia mati terbunuh. Tindakan semacam ini disebut inghimas (jbaku). Ada sejumlah hadis yang melukiskan tindakan inghimas. Di antaraya:
Dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata:
“Saya mendengar ayahku radhiyyalhu ‘anhu, selagi ia sedang menghadapi pasukan
musuh, berkata: Rasulullah SAW. Telah bersabda: ‘Sesungguhnya pintu-pintu
surge berada dibawah bayang-bayang pedang.’Seorang
laki-laki yang usang pakaiannya lalu berdiri dan berkata: ‘ Wahai Abu Musa,
apakah engkau mendengarkan Rasulullah SAW mengatakan yang demikian ini? “ Abu
Musa menjawab: “Ya”. Abu Musa berkata: “Orang itu lalu kembali ke
kawan-kawannya seraya berkata: ‘Saya mengucapkan salam kepada kalian. ‘Ia
kemudian memecahkan sarung pedangnya lalu mencampakannya. Selanjutnya, ia
berjalan sambil membawa pedangnya kearah musuh dan menyerang dengan pedangnya itu
hingga ia terbunuh. (H.R.Muslim)
(an-Nawawi,2005:242).
Hadis di atas berisi motivasi kepada
tentara muslim yang sedang berhadapan dengan tentara musuh di medan perang.
Imbalan berupa surga yang dijanjikan kepada mereka yang mati dalam perang,
membuat anggota pasukan berani menghadapi musuh tanpa menghitung resiko yang
bakal dialaminya, baik yang berupa cacat fisik maupun kematian. Kandungan hadis
di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.
Tindakan bom bunuh diri mempunyai
karakteristik. Di antaranya: Pertama,
perbuatan ini termasuk tindakan bunuh diri atau kematian direncanakan. Kedua, perbuatan ini menyebabkan
orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan menyebabkan ketakutan
orang banyak. Ketiga, Perbuatan ini
mencerminkan sikap putus asa dan ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang
lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah. Keempat, perbuatan ini mempunyai tujuan yang tidak jelas pula. Kelima, pertimbangan subyektif sangat
menonjol dalam suatu tindakan bunuh diri.
Seorang ulama terkenal pada zaman
ini, Wahbah Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh al- Islamy Wa Adilatuhu dalam
bab Qowaid al –jihad menyatakan bahwa jihad hanya terjadi pada tiga hal, yaitu:
1. Apabila perbuatan itu terjadi pada saat bertemunya dua
pasukan yang sedang saling bertempur, yaitu pasukan Islam dan pasukan musuh.
2. Apabila penduduk suatu negeri muslim diserang oleh
musuh.
3. Apabila Amirul Mukminin, pemimpin negeri muslim,
memerintahkan warganya untuk pergi ke medan perang.
Kalau
kita perhatikan, tampak beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadis yang tidak
membenarkan tindakan bom bunuh diri. Di antaranya adalah: Pertama, larangan Al-Qur’an untuk membunuh diri sendiri:
Hai orang-orang
yang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah
Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar
hukum dan zalim, akan kami masukan dia ke dalam mereka. Yang demikian itu mudah
bagi Allah (Qs. An- Nisa [4]: 29-30).
Kedua,
larangan mencelakakan diri sendiri.
“Dan infakkanlah
(hartamu) di jalan Allah, dan Janganlah kamu jatuhkan ( diri sendiri) ke dalam
kebinasaan dengan tangan sendiri dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (Qs Al-Baqarah [2]: 195).
Ketiga,
larangan membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
413 sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (Qs. Al-
Maidah[5]: 32)
Keempat,
larangan berputus asa dari rahmat Allah.
“Hai
anak-anaku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan
jangan kamu berputus asa dari rahmat Alah. Sesungguhnya yang berputus asa dari
rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Yusuf
[12]: 87)
Perbedaan antara Mati Syahid dengan Bom Bunuh Diri
Amaliyat al- isytisyhad berbeda
dengan bom bunuh diri. Pertama, orang
yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri
sementara pelaku amaliyat al- isytisyhad mempersembahkan
dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah
orang yang pesimistis atas dirinya dan atas ketentuan Allah, sedangkan pelaku amaliyat al- isytisyhad adalah manusia
yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah
subahanahu wata’ala. Kedua, bom bunuh
diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan putus asa (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri
(ihlak al-nafs), baik dilakukan di
daerah damai (dar al-shulh/dar
a1-salam/dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-harb). Ketiga, amaliyat al –isytisyhad
(tindakan mencari kesyahidan) diperbolehkan karena merupakan bagian dari jihad
binafsi yang dilakukan di daerah perang (dar
al- harb) dengan tujuan untuk
menimbulkan rasa takut (irhab) dan
kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan
yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri (Fatwa MUI tentang
Terorisme). Dalam konteks ini Indonesia bukanlah dar al-harb melainkan dar
al-sulh dan dar al-mu’ahadah
(Negara dalam perjanjian). Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 mengikat
semua kaum muslim dan non- muslim di Indonesia untuk mempertahankan kedamaian
dan keutuhan negara. Semua umat beragama, termasuk umat Islam, memiliki kebebasan untuk
menjalankan ajaran agamanya secara
damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar