Banyak pakar mensinyalir, salah satu
penyebab ketertinggalan umat Islam saat ini adalah karena meninggalkan dan
menjauh dari ajaran al-Qur’an dan hadits. Meninggalkan dimaksud berupa
ketidaktahuan yang berakibat pada kurangnya penghayatan dan pengamalan terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam kedua sumber ajaran Islam. Sikap seperti ini
pernah dilakukan oleh umat terdahulu yang kemudian membuahkan kecaman keras.
QS. Al-Baqarah [2]: 78 menyebut mereka yang bersikap demikian sebagai “ummiyyun”
(buta huruf), yang tidak mengerti kitab suci dan sumber ajaran agama dengan
baik. Kalaupun mengerti, pemahaman mereka tidak didukung oleh bukti-bukti kuat,
tetapi hanya sekadar dugaan, sehingga timbul keengganan. Kebutaaksaraan (ummiyyah)
seperti ini tidak lagi hanya sebatas tidak bisa membaca dan menulis aksara,
tetapi tidak memahami ajaran agama dengan baik dan benar. Rajab al-Banna,
kolumnis Mesir terkemuka, menyebutkan dengan istilah ummiyyah diniyyah
(buta aksara agama). Menurutnya, wajah kusam Islam saat ini, selain karena
propaganda musuh-musuh Islam, juga disebabkan oleh sikap, perilaku, dan
pemikiran sebagian kaum Muslim yang tidak memahami ajaran agama secara utuh.
Tak
dapat disangkal, dalam kehidupan seorang Muslim, Al-Qur’an dan Hadist merupakan
dua sumber ajaran yang mengatur banyak hal dan harus dipedomani dalam hidup. Allah
berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri” (QS. Al-Nahl [16]: 44). Al-Qur’an tidak hanya berisikan
persoalan akidah dan ibadah, tetapi mencakup berbagai persoalan etika, moral,
hukum, dan system kehidupan lainnya. Sedemikian lengkapnya ajaran al-Qur’an, sayyiduna
Abu Bakar ra. Berujar, “Seandainya tambat untaku hilang, pasti akan aku
temukan dalam al-Qur’an.” Ajarannya berlaku sepanjang masa dan bersifat
universal untuk semua umat manusia. Ilmu pengetahuan modern membuktikan sekian
banyak isyarat ilmiah dalam al-Qur’an, bahkan juga hadist, yang sejalan dengan
penemuan ilmiah para ahli.
Meski
menyatakan dirinya telah “menjalankan segala sesuatu”, namun tidak berarti
al-Qur’an tidak membutuhkan penjelasan. Jumlah ayatnya yang terbatas (6236
ayat) dan karakteristik bahasanya yang ringkas dan padat serta kandungannya
yang bersifat umum menuntut adanya penjelasan atau penafsiran. Otoritas
tertinggi untuk itu dimiliki oleh Rasulullah yang diwujudkan dalam bentuk
ucapan, perbuatan dan ketetapan. Himpunan ketiganya disebut Hadits atau Sunnah.
Dengan demikian, sebagai sumber ajaran Islam al-Qur’an dan Hadits tidak dapat
dipisahkan, karena jika al-Qur’an dipandang sebagai sebuah konstitusi (dustur)
yang mengandung pokok-pokok ajaran ketuhanan yang diperlukan untuk mengarahkan
kehidupan manusia, maka Hadits merupakan rincian penjelasannya. Al-Qur’an
sendiri menyatakan, selain bertugas menyampaikan kitab suci, Rasulullah diberi
kewenangan untuk menjelaskan kitab tersebut (QS. An-Na-hl [16]: 44). Penjelasan
itu tidak pernah keliru, sebab dalam menjalankan tugas tersebut Rasulullah
senantiasa berada dalam bimbingan wahyu (QS. An-Najm [53]: 3).
Dengan
kata lain, Hadits dan Sunnah adalah bentuk lain dari al-Qur’an yang wujud dan
hidup. Jika Anda ingin mengetahui tuntunan akhlak al-Qur’an, maka perhatikanlah
kehidupan Rasul, demikian makna yang tersirat dari sebuah Hadits riwayat Aisyah
ra. Tanpa Hadits atau Sunnah, banyak hal menyangkut ibadah dan muamalah dalam
Islam yang tidak pernah diketahui. Dalam Al-Qur’an ditentukan perintah shalat,
tetapi tidak ditemukan penjelasan rinci mengenai bilangan rakaatnya, tata cara,
dan waktu melaksanakannya, serta jenis
shalat yang diwajibkan dan dianjurkan. Penjelasan semua itu ada dalam hadits.
Ukuran, jenis, dan wktu pelaksanaan zakat juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
Demikian pula tata cara pelaksanaan puasa, haji, transaksi jual beli, dan
lainnya yang hanya diterangkan secara global oleh al-Qur’an. Dari sini banyak
ulama memahami keduanya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan,
sehingga mengamalkan Hadits berarti juga
mengamalkan al-Qur’an. Firman Allah: “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya
ia telah menaati Allah. Dan, barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu),
maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisa’
[4]: 80).
Suatu ketika seorang perempuan dari Bani
Asad mendatangi sahabat Rasul, Abdullah bin Mas’ud, dan memprotes sikap Ibnu
Mas’ud yang mengecam keras perempuan yang mentato (al-wasyimat) dan yang minta
ditato (al-mustawsyimat). Perempuan itu berdalih, larangan tersebut tidak
ditemukan dalam al-Qur’an . Ibnu Mas’ud menjawab. “Larangan tersebut dapat Anda
temukan dalam sebuah ayat, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr
[59]: 7). Ayat ini juga dibacakan oleh
Abdurrahman bin Yazid, seorang ulama generasi awal, ketika ada seorang yang
memperotes larangan mengenakan baju saat berihram dengan alasan tidak ada
ketentuannya dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, ayat tersebut menegaskan
kedudukan Hadits sebagai referensi hukum saat tidak ditemukan rincian
penjelasan dalam al-Qur’an. Dari sini, tidaklah tepat pandangan sebagai
kalangan yang merasa cukup dengan hanya berpedoman pada al-Qur’an.
Contoh kasus dalam menjalankan
Syariat Islam/
Satu hal yang patut disadari, persoalan
agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks keagamaan, melainkan juga pada
pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurniaan teks al-Qur’an dan
Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah
membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan fakta sekian
banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat al-Qur’an yang
dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung kemungkinan ragam
interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip
kebahasaan dan syariat Islam.
Lebih
problematis lagi ketika teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam
memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab
al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal
yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan,
perbuatan, maupun ketetapan mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti
(tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapatkan petunjuk (QS.
Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi,
juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang tidak berimpilasi hukum, terutama
yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Dia antara ulama yang
mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atas
adalah al-Qarafi (w. 684 H), Syah
Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar,
Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur,
Mufti Tunis dan pengarang tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.
Contoh
khasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan
menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari
pohon korma agar produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan
agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun
mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada
Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku
hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka
ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku
hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau
menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian
lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits
tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat
dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah
salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma,
sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan
perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran
agama yang harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak
seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal
teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih
tahu dari Rasul. Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab
penjelasan (syarah) Shahih Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di
bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma qalahu
syar’an, duna ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi ad-dunya
‘ala sabil al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa
syariat agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan
pendapat).
Pada
bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di
sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik
krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang
terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak
jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan
terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman
yang begitu longgar, bahkan liberal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar