Pembicaraan mengenai pengkafiran mengharuskan kita untuk
membahas asal-usulnya demi mengetahui sebab penyakit ini. Asal mula pengkafiran terjadi
pada zaman fitnah besar ketika sekelompok kaum muslimin yang dikenal dengan Khawarij
melakukan pengkafiran tanpa keahlian yang dimilikinya.
Syahrastani mengatakan, “Ketahuilah, orang yang pertama kali memberontak
kaum Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Ra adalah kelompok yang dulu bersamanya
dalam perang Shiffin. Orang yang paling keras menentangnya adalah Asy’ats bin
Qais Al-Kindi, Mas’ar bin Madzki At-Tamimi, dan Zaid bin Hushain Ath-Thai`i ketika mereka
mengatakan, “Kaum (kelompok Muawiyah) mengajak kita untuk kembali kepada
Kitabulah dan kamu mengajak kami untuk kembali kepada pedang.” Ali menjawab
mereka hingga berkata, “Aku orang yang paling tahu tentang Kitabullah. Pergilah
dan bergabunglah dengan pasukan. Pergilah kepada orang yang berkata, “Allah dan
Rasul-Nya berdusta, sedang kalian mengatakan, “Allah dan Rasul-Na benar. Mereka
tidak rela dengan ini. Mereka mengatakan, “Itu hanya dari dirimu sendiri.”
Mereka memaksa Ali untuk mengutus Abu Musa Al-Asy’ari untuk berhukum dengan
Kitabullah. Ali tidak rela dengan apa yang sudah terjadi. Akhirnya mereka
berontak kepadanya dan berkata, “Kenapa kamu berhukum kepada orang-orang? Tidak
ada hukum kecuali kepada Allah.” Mereka kaum pemberontak yang
berkumpul di Nahrawan. Pecahan-pecahan mereka yang terbesar adalah Muhakkimah,
Azariqah, Najdad, Baihasiyah, Ajaridah, Tsa’alibah, Ibadhiyah, dan Shafariyah.
Adapun yang lain adalah pecahan-pecahan kelompok ini. Mereka bersatu dalam semangat melepaskan diri dari Utsman Ra dan Ali Ra. Mereka mengutamakan hal ini di
atas semua ketaatan. Mereka tidak mengesahkan pernikahan kecuali atas hal ini.
Mereka mengkafirkan semua pelaku dosa besar dan memberontak penguasa apabila dianggap menyalahi Sunnah.”[1]
Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Inilah yang terjadi pada kaum Khawarij
di awal Islam. Mereka orang yang paling rajin beribadah puasa, shalat, dan membaca
Al-Quran. Akan tetapi, kerusakan mereka ada dalam pemikiran, bukan dalam hati
mereka. Mereka menganggap amal buruk mereka sebagai amal yang baik. Perilaku
mereka tersesat dalam kehidupan dunia, namun mereka menyangka berbuat kebaikan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar