Selasa, 14 Mei 2013

Tanpa Kelembutan, Tidak Akan Mendapat Kebaikan




Kedua penulis mengingatkan bahwa salah satu pijakan penting bagi penegak amar makruf nahi mungkar adalah nasihat Ibnu Taimiyah, “Harus dibarengi ilmu yang cukup, rasa kelembutan, dan kesabaran.” Karena amar makruf nahi mungkar bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mewujudkan masyarakat yang tertata baik. (hal. 97)
                                   
Rasulullah Saw merupakan teladan terbaik dalam amar makruf nahi mungkar. Al-Quran menyebutkan sifat Rasulullah dalam salah satu ayat-Nya, “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu....” (QS. Ali Imran [3]: 159).
                                     
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt Mahalembut dan menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan sesuatu yang tidak Dia berikan kepada kekerasan atau yang lainnya.”  Aisyah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika kelembutan ada pada seseorang maka kelembutan itu pasti makin menghiasinya dan jika kelembutan itu tidak ada pada seseorang maka tentu saja ia terlihat buruk.” Dalam Hadis lain, “Orang yang tidak memiliki kelembutan maka tidak akan memiliki kebaikan.” Menafsirkan Hadis ini, kedua penulis mengatakan bahwa kebaikan yang tidak akan dimiliki itu adalah kebaikan di dunia dan akhirat. Tanpa kebaikan di dunia maka ia akan dijauhi manusia dan tanpa kebaikan di akhirat maka ia tidak akan mendapat ridha dan anugerah Allah Swt. (hal. 99)

Untuk memperkuat hal di atas, kedua penulis menyebutkan beberapa ayat Al-Quran. Allah berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka...’” (QS. Al-Isra` [17]: 53). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan diberi petunjuk (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji” (QS. Al-Hajj [22]: 24).

Ada banyak Hadis yang juga mencontohkan kelembutan yang sudah diperlihatkan langsung oleh Rasulullah Saw. Suatu ketika ada seorang pemuda mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.” Para sahabat yang mendengar pun langsung berteriak mencelanya. Namun, Rasulullah dengan lembut meminta para sahabat untuk tenang. Beliau kemudian meminta pemuda itu mendekati beliau. Beliau lalu bertanya, “Apakah kamu mau perzinaan itu dilakukan atas ibumu?” Sang pemuda menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah! Semoga Allah menjaganya.” Rasulullah menimpali, “Begitu pula orang lain, mereka tidak ingin ibu mereka berzina dengan orang lain. Lalu apakah kamu mau perzinaan itu dilakukan atas anak perempuanmu?” Sang pemuda menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah! Semoga Allah menjaganya.” Rasulullah menimpali, “Begitu pula orang lain, mereka tidak ingin anak perempuan mereka berzina dengan orang lain.” (hal. 101)

Dalam Hadis lain diterangkan pula ada seorang badui (pedalaman) yang membuang air kecil di dalam masjid. Tentu saja hal itu membuat para sahabat geram dan hendak menghardik si badui. Namun, Rasulullah justru meminta para sahabat membiarkan si badui itu. Beliau bersabda, “Biarkanlah... cukup kalian segera siram saja air kecilnya dengan air. Sesungguhnya kalian diperintah untuk mempermudah, bukan mempersulit.”

Kedua penulis lalu menekankan arti penting kelembutan dalam penegakan amar makruf nahi mungkar. Selain kelembutan, Al-Quran juga menekankan kesabaran, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya, “Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting” (QS. Luqman [31]: 17).

Kesabaran merupakan teman karib kelembutan. Karena jika amar makruf nahi mungkar dilakukan tanpa kesabaran dan kelembutan maka yang terjadi bukan lagi amar makruf nahi mungkar, melainkan pertengkaran atau malah perkelahian. Kedua penulis lalu mengutip beberapa pernyataan Imam Al-Ghazali, di antaranya, “Orang yang melakukan kemungkaran harus diberi tahu tentang haramnya kemungkaran itu secara lembut. Karena kemungkaran lahir akibat kebodohan, sedangkan kebodohan hakikatnya merupakan sesuatu yang menyakitkan. Jika seseorang sudah bodoh (sakit), lalu disakiti lagi dengan tindak kekerasan maka tentu tidak akan menyelesaikan masalah.” Dalam Hadis lain ditegaskan, “Jika pemberitahuan tentang kemungkaran itu justru menimbulkan sakit hati atau membuka aib seseorang maka beri tahulah secara lembut agar ia mau mendengar. Dengan begitu, tidak ada yang tersakiti. Menyakiti orang lain merupakan sesuatu yang harus dijauhi. Tentu tidak bisa dinalar membersihkan darah dengan darah atau dengan air kecil.”

Imam Al-Ghazali juga mengungkap potensi mudharat yang lain dalam melakukan amar makruf nahi mungkar tanpa dibarengi kelembutan dan kesabarab, yaitu potensi takabur dan menjerumuskan orang lain dalam kebodohan. Dalam Hadis disebutkan, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya masih ada setitik saja sifat takabur.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar