Kamis, 30 Mei 2013

Bantahan atas Pengkafiran





Nabi Saw telah memberikan peringatan keras atas tuduhan kafir. Beliau bersada, “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai orang kafar,’ sesunggunya salah satu dari keduanya telah menjadi kafir.” Kami telah menjelaskan pendapat-pendapat yang dinukil Imam Nawawi dalam mensyarahi Hadis ini. Dalam Hadis Usamah bin Zaid Ra disebutkan bahwa oarang yang mengucapkan lâ ilâ illallâh telah masuk Islam dan darah dan hartanya wajib dilindungi. Meskipun dia mengucapkannya demi menyelamatkan diri. Urusannya kita serahkan kepada Allah. Kita hanya menghukumi berdasarkan zahir. Karena itulah, Nabi Saw sangat mengingkari Usamah ketika membunuh seseorang dalam peperangan setelah orang tadi membaca syahadat. Beliau bersabda, “Apakah kamu membunuhya setelah dia mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah?’” Usamah berkata, “Sesungguhnya dia mengucapkannya untuk melindungi diri dari pedang.” Beliau bersabda, “Apakah kamu membedah hatinya? Apa yang kamu perbuat dengan lâ ilâha illallâh?” Usamah berkata, “Beliau selalu mengulang-ulangnya hingga aku berharap masuk Islam pada hari itu.”[1]

Beberapa Istilah yang Perlu Dijelaskan Agar Tidak Terjadi Kesalahpahaman
1. Iman.
Iman menurut bahasa adalah membenarkan, sebagaimana yang tersebut dalam Mukhtâr Ash-Shihâh. Adapun iman menurut istilah Ahlussunnah wal-Jamaah adalah, mengucapkan dengan lisan, mebenarkan dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, iman artinya membenarkan. Dan menurut mayoritas Hanafiyah, iman artinya membenarkan segala yang dibawakan oleh Nabi Saw dengan disertai pengakuan lisan. Ahlussunnah wal-Jamaah mendefinisikan iman dengan perkataan dan perbuatan.
Syaikh Hafizh Hukmi menjelaskan hal tersebut seperti di bawah ini.
Ucapan hati, artinya hati membenarkan. Ucapan lisan, artinya mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah serta mengakui konsekwensi-konsekwensinya.
Perbuatan hati, artinya niat, ikhlas, cinta, pasrah, menghadap kepada Allah, tawakal dan konsekwensi-konsekwensinya.
Perbuatan lisan dan anggota badan. Perbuatan lisan, artinya sesuatu yang tidak dapat tercapai kecuali melalui lisan, seperti membaca Al-Quran, segala zikir, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, doa, istighfar dan lain sebagainya.
Perbuatan anggota badan, artinya sesuatu yang tidak dapat terlaksana kecuali dengan anggota badan, misalnya berdiri, rukuk, sujud, berjalan menuju ridha Allah, pergi ke masjid, haji, jihad, dan amar makruf dan nahi mungkar.[2]
Ibnu Bathal mengatakan, “Jika dikatakan, ‘Kamu telah menetapkan bahwa iman adalah membenarkan,’ maka dikatakan, membenarkan merupakan awal tingkatan-tingkatan iman dan pintu masuk pertama orang-orang yang membenarkan, namun tidak mewajibkan penyempurnaan tingkatan-tingkatannya. Akan tetapi, yang seperti ini tidak dinamakan iman secara mutlak.
Menurut kalangan Ahlussunnah wal-Jamaah, iman adalah ucapan dan perbuatan. Abu Ubaid mengatakan, “Ini merupakan pendapat Imam Malik, Nawawi, Auza’i dan orang-orang setelah mereka dari kalangan Ahlussunnah di berbagai tempat. Makna inilah yang ingin disampaikan Imam Bukhari dalam Kitâb Al-Îmân dan membuat bab-bab di bawah pembahasan iman.[3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri menjelaskan bahwa ulama salaf mengatakan, iman adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Mereka bermaksud bahwa amal adalah syarat kesempurnaan iman. Dari sini muncullah perkataan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
Sementara kaum Murjiah mengatakan, “Iman adalah keyakinan dan ucapan.” Kelompok Karamiah mengatakan, “Iman hanyalah ucapan.” Muktazilah mengatakan, “Iman adalah amal, ucapan dan keyakinan.”
Yang membedakan antara mereka dengan ulama salaf adalah mereka menjadikan amal sebagai syarat sah iman, sedangkan salaf menjadikan amal sebagai penyempurna iman.
Al-Hafizh mengatakan, “Semua ini dipandang dari apa yang ada di sisi Allah. Adapun dipandang dari sisi kita, iman adalah pengakuan saja. Barangsiapa yang mengaku iman, maka diberlakukan hukum-hukum iman terhadapnya di dunia dan tidak dihukumi kafir kecuali dibarengi dengan perbuatan yang menunjukkan kekafiran, seperti sujud kepada berhala. Jika perbuatan tidak menunjukkan kekafiran, seperti fasik, barangsiapa yang mengatakan orang seperti ini iman karena memandang pengakuannya dan barangsiapa yang mengkafikan iman darinya, karena memandang kesempurnaan iman. Barangsiapa yang menyebutnya kafir, karena memandang hal tersebut perbuatan kafir dan barangsiapa yang menafikan kafir darinya, karena memandang hakikat iman.”
Kesimpulan penjelasan Ibnu Hajar, antara lain.
1. Ahlussunnah wal-Jamaah menjelaskan iman dengan keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota badan.
2. Ada perbuatan yang menggugurkan iman, seperti tidak melakukan kewajiban. Ada perbuatan yang menjadi penyempurna iman, bukan syarat iman. Oleh karena itu, iman bertambah dan berkurang.
3. Ada perbuatan-perbuatan yang menunjukkan kekafiran pelakunya, seperti sujud kepada berhala.
Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Iman apabila diungkapkan secara umum maksudnya iman yang sempurna, yaitu iman yang mengumpulkan antara pembenaran hati, pengakuan lisan, dan praktik anggota badan. Inilah iman yang disebutkan dalam firman Allah Swt,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya” (Qs. Al-Anfâl [8]: 2).
Begitu juga yang terdapat Hadis Nabi Saw,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menyambung tali persaudaraan.”
Dan yang terdapat dalam Hadis Nabi Saw bahwa iman mempunyai cabanya sebanyak tujuh puluh cabang. Yang paling utama, ucapan lâ ilâha illallâh dan yang paling rendah, menyingkirkan duri dari jalan. Malu adalah cabang dari iman.”[4]


[1] HR. Bukhari, nomor 4269 dan Muslim, nomor 96.
[2] Ma’ârijul Qabûl, 2/13.
[3] Syarah Shahih Muslim, 1/147.
[4] HR. Bukhari, nomor 35 dari Abu Hurairah Ra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar