Sejak munculnya ilmu fikih
(hukum Islam), para ulama sudah terbiasa
dengan perbedaan pendapat. Untuk itu, para pelaku amar makruf nahi mungkar
harus mengetahui perbedaan para ulama ini agar tidak mudah menyalahkan orang
lain. (hal. 86)
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin mengatakan, “Syarat dari
nahi mungkar adalah bahwa kemungkaran tersebut sudah jelas diketahui dan
disepakati. Adapun kemungkaran yang sifatnya masih debatable, sebagian
ulama menganggap haram dan sebagian yang lain menganggap halal atau mubah maka
tidak perlu melakukan amar makruf nahi mungkar. Karena itu, para pemeluk mazhab
Hanafi tidak boleh menyalahkan para pemeluk mazhab Syafi’i yang tengah makan
daging kadal. Demikian pula para pemeluk mazhab Syafi’i tidak boleh menyalahkan
para pemeluk mazhab Hanafi yang tengah minum anggur yang tak memabukkan atau memberi
hak waris kepada dzawil arham (hubungan
kekerabatan). Demikian pula dengan
permasalahan-permasalahan lain yang masih dalam lingkup ijtihad atau perbedaan
pendapat di antara para ulama.
Al-Izz bin Abdussalam menyebutkan
tiga batasan penting mengenai hal ini, yaitu sebagai berikut.
- Seseorang yang meyakini
sesuatu yang debatable itu haram maka ia cukup menggunakannya untuk
diri sendiri (mengharamkan untuk diri sendiri).
- Seseorang yang meyakini
sesuatu yang debatable itu halal maka ia cukup menggunakannya untuk
diri sendiri (menghalalkan untuk diri sendiri) dan tidak boleh memaksa
orang lain untuk menghalalkannya.
- Orang yang tidak yakin bahwa
sesuatu yang debatable itu halal atau haram maka ia bisa memberi
pengertian kepada orang lain, tetapi tidak boleh memaksakanya.
Kedua penulis juga mengutip
pernyataan Abu Ya’la mengenai hal ini, “Adapun permasalahan-permasalahan yang
masih menjadi perdebatan di antara para ulama tentang halal-haramnya maka tidak
bisa dijadikan objek amar makruf nahi mungkar secara mutlak. Kecuali jika
perdebatan dalam permasalahan itu lemah dan mayoritas ulama mengharamkannya
maka bisa dijadikan objek amar makruf nahi mungkar, misalnya mengenai riba naqd (uang) dan nikah mut’ah.”
Kedua penulis lalu mengungkapkan
bahwa jika perdebatan para ulama lemah, tetapi tidak menjurus pada mudharat maka hal itu bisa dijadikan objek amar makruf nahi mungkar. (hal.
90)
Menutup bab ini, kedua penulis menyimpulkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
- Hal-hal yang masih debatable
tidak perlu dijadikan objek amar makruf nahi mungkar.
- Amar makruf nahi mungkar
boleh dilakukan atas perkara yang debatable, asalkan perdebatannya
lemah.
- Perkara muamalah yang masih debatable
secara lemah tidak boleh dijadikan objek amar makruf nahi mungkar kecuali
perkara tersebut menjurus pada transaksi yang diharamkan secara mutlak.
Namun, Imam Syafi’i menyebutkan ada dua alternatif, salah satunya adalah
cukup mengimbaunya untuk melakukan transaksi yang lebih jauh dari
keharaman sehingga tidak menimbulkan perdebatan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar