Kamis, 16 Mei 2013

Menghindari Penegakan Nahi karena Khawatir Menimbulkan Mudharat yang Lebih Besar



Membuka bab ini, kedua penulis bertanya-tanya, bagaimana jika pelaku amar makruf nahi mungkar memperkirakan bahwa kemungkaran tidak akan berhenti dengan tindakannya, malah bisa berubah menjadi kemungkaran yang lebih dahsyat lagi? Dalam keadaan seperti ini, apakah penegak amar makruf nahi mungkar sebaiknya meneruskan tindakannya untuk menghentikan kemungkaran, ataukah sebaiknya ia tidak meneruskan usaha tindakannya tersebut? Jika ia memutuskan meneruskan usahanya itu, apakah berarti ia harus bersikap masa bodoh dengan akibat usahanya itu, yaitu kemungkinan berubahnya kemungkaran menjadi kemungkaran yang lebih besar?

Kedua penulis lalu mencontohkan beberapa kasus. Misalnya menyiram wajah perempuan yang bersolek dengan air mendidih, atau menghancurkan kuburan orang-orang yang tidak diketahui identitasnya, atau menggusur lokalisasi prostitusi tanpa memberikan solusi alternatif pilihan alih pekerjaan. Tindakan-tindakan tersebut memang bisa diniatkan sebagai penegakan nahi mungkar, tetapi justru dapat menimbulkan kemungkaran atau mudharat yang jauh lebih besar. Atas tindakan-tindakan seperti itu, Asy-Syathibi menyebutnya sebagai tindakan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan ajaran syariat. Jika kemaslahatan yang lebih besar tidak dicapai maka suatu tindakan tidak bisa dikatakan menjadi amar makruf nahi mungkar. Demikian dinyatakan juga oleh Al-Izz bin Abdussalam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun dalam kitab Fatawa-nya mengatakan bahwa syariat Islam diajarkan untuk mendatangkan maslahat dan menjauhkan mudharat. Jika ada dua maslahat bertentangan maka yang diperjuangkan adalah maslahat yang lebih besar, sedangkan bila ada dua mudharat yang mungkin timbul maka yang dijauhkan adalah mudharat yang lebih besar. Allah Swt berfirman, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya....’” (QS. Al-Baqarah [2]: 219).

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa perintah melakukan amar makruf nahi mungkar memang disebutkan secara umum. Artinya seperti tidak ada pengecualian sama sekali. Namun, menurut Imam Al-Ghazali, pada praktiknya, penegakan amar makruf nahi mungkar harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan begitu, memungkinkan adanya pengecualian dalam tindakan amar makruf nahi mungkar, baik berdasarkan ijmak maupun qiyas (silogisme). Tindakan yang dilakukan dalam nahi mungkar, misalnya, harus dilihat dari pelaku kemungkarannya, tidak sekadar perbuatan mungkarannya. Jika jelas diketahui bahwa pelaku kemungkaran itu tidak mungkin bisa dicegah atau ditanggulangi dari kemungkaran tersebut maka bisa jadi memang tak ada gunanya menegakan nahi mungkar terhadapnya.

Kedua penulis bahkan menyatakan, jika seseorang memperkirakan penegakan nahi mungkar justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar maka tanpa diragukan lagi wajib baginya untuk meningalkan penegakan nahi mungkar. (hal. 141)

Kedua penulis kemudian menutup bab ini dengan mengutarakan bahwa menghindari tindakan nahi mungkar seperti itu memang biasanya luput dari perhatian kebanyakan orang. Untuk itu, bab ini menjadi sangat penting bagi para penegak amar makruf nahi mungkar. Sesungguhnya ajaran-ajaran syariat Islam saling melengkapi satu sama lain. Ajaran-ajaran tersebut tidak mungkin saling bertentangan karena syariat Islam datang dari Allah yang Maha Mengetahui dan Mahateliti. Karena itu, penegakan amar makruf nahi mungkar tidak selayaknya bertentangan dengan tujuan dan kelembutan dakwah. Harus diakui pula bahwa hilangnya kemungkaran dari seseorang juga didasarkan pada  hidayah dari Allah Swt. Dengan begitu, penegakan amar makruf nahi mungkar jangan sampai bertentangan dengan tujuan amar makruf nahi mungkar lain yang lebih besar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar