Bab ini menjelaskan mengenai
larangan tajassus (mencari-cari kesalahan). Kedua penulis menguraikan
definisi tajassus sebagaimana pengertian yang dijelaskan Al-Alusi, yaitu mencari-cari sesuatu yang tersembunyi dari seseorang.
Tentu saja sesuatu yang tersembunyi itu adalah aib atau kesalahan. Al-Quran
dengan sangat jelas menerangkan larangan tajassus (mencari-cari
kesalahan orang lain) ini melalui firman-Nya, “...dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain....” (QS. Al-Hujurat [49]: 12). Rasulullah Saw juga bersabda, “Wahai orang-orang yang sudah beriman dengan
lisannya, tetapi belum beriman sampai ke dalam lubuk hati, janganlah kamu
menyakiti kaum muslimin, janganlah kamu mempermalukan mereka, dan janganlah
mencari-cari kesalahan mereka. Barang siapa mencari-cari kesalahan saudaranya
yang muslim maka Allah akan membukakan kesalahannya dan barang siapa yang telah
dibukakan kesalahannya oleh Allah maka ia tidak akan bisa menutup-nutupinya
meski bersembunyi sampai ke lubang di tempat yang jauh.”
Kemungkaran merupakan sesuatu
yang haram, tetapi mencari-cari kemungkaran juga diharamkan. Karena itu,
seseorang tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain yang mungkin disembunyikan. Artinya, kemungkaran yang masih dalam tahap sangkaan itu tidak boleh
dicari-cari karena masih mengandung dua kemungkinan; benar atau tidak. Diriwayatkan bahwa suatu ketika seorang laki-laki mendatangi Umar
bin Khaththab dan berkata, “Wahai Umar, si fulan sepertinya suka minum khamar (minuman
keras) secara diam-diam.” Umar lalu
berkata, “Tunggulah sampai waktu ia biasa selesai meminum khamar.” Laki-laki
itu lalu mendatangi Umar ketika si fulan selesai meminum khamar dan mengajak
Umar mendatangi rumah si fulan. Ketika tahu Umar akan memasuki rumahnya, si
fulan pun segera menyembunyikan khamarnya. Laki-laki itu dan Umar lalu memasuki
rumah si fulan. Umar kemudian berkata, “Sungguh, aku mencium bau khamar.” Si
fulan menjawab, “Wahai Ibnu Khaththab, bagaimana kamu ini, bukankah Allah telah
melarangmu untuk mencari-cari kesalahan orang lain?” Umar pun mengakui hal itu,
lalu pergi meninggalkan rumah si fulan. (hal. 57)
Kedua penulis lalu mengutip
perkataan beberapa ulama mengenai tajassus. Al-Ghazali berkata, “Syarat
bagi orang yang hendak menegakkan nahi mungkar adalah bahwa kemungkaran itu
sudah jelas di depan mata tanpa harus dicari-dicari. Adapun jika ada seseorang
menyembunyikan kemungkarannya di dalam rumahnya dan ia menutup pintu rumahnya
itu rapat-rapat maka orang yang hendak menegakkan nahi mungkar tidak
diperkenankan memata-matai rumahnya tersebut.” Al-Qurthubi mengatakan,
“Bertindaklah atas kemungkaran yang sudah jelas terlihat dan janganlah
memata-matai kesalahan orang lain. Dengan kata lain, seseorang tidak selayaknya
mencari-cari aib orang lain sampai aib itu benar-benar tampak jelas setelah
dibuka oleh Allah Swt.”
Untuk menutup bab ini, penulis
mengungkapkan bahwa setiap pelaku amar makruf nahi mungkar tidak boleh terlalu
bersemangat dalam mencari-cari kemungkaran, tidak boleh pula memata-matai
kegiatan orang lain di rumahnya, sebagaimana tidak diperkenankan menanyakan
pada dua orang, satu laki-laki dan satu lagi perempuan, yang tengah berjalan,
“Siapa perempuan yang bersamamu ini, apa hubungannya denganmu?” Hal-hal semacam
ini harus betul-betul dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar