Kedua penulis menerangkan bahwa amar
makruf nahi mungkar bertujuan membuat kehidupan masyarakat lebih tertata.
Dengan amar makruf nahi mungkar ini, diharapkan masyarakat dapat dijauhkan dari
kerusakan dan mudharat. Karena itu, apabila penegakan amar makruf nahi mungkar justru mengundang unsur mudharat, baik pada pelaku maupun objek, maka penegakan amar makruf nahi mungkar ini justru bisa menjadi kebatilan. Al-Izz bin
Abdussalam mengatakan, “Setiap tindakan kebaikan yang justru kontraproduktif
terhadap kebaikan maka hukumnya tidak diperbolehkan.” Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga mengutarakan
dalam kitab A’lamul
Muqi’in, “Syariat Islam dibangun di atas fondasi kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia, yaitu keadilan dan kasih sayang. Karena
itu, jika suatu tindakan justru membuat keadilan
menjadi kezaliman, kasih sayang menjadi sebaliknya, kemaslahatan menjadi mudharat, atau dari kebijaksanaan menjadi kekerasan
maka dapat dipastikan itu semua keluar dari ketentuan syariat.” (hal. 122)
Mengutip pernyataan Imam Quthubi,
kedua penulis menjelaskan bahwa suatu beban kewajiban akan gugur bagi orang
yang tidak mampu. Menurut Al-Alusi, kemampuan yang dimaksud
di sini adalah kemampuan melakukan sesuatu saat hendak melaksanakannya.
Perintah syariat selalu memiliki kebijaksanaan atau hikmah tersendiri karena syariat tidak akan dibebankan kepada
seseorang jika ia memang tidak mampu melakukannya. Allah Swt berfirman, “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....” (QS.
Al-Baqarah [2]: 286). Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa sesungguhnya
Allah tidak akan memerintahkan seseorang di luar batas kemampuannya.
Demikian pula amar makruf nahi
mungkar, tidak akan dibebankan kepada orang yang tidak mampu melaksanakannya. Al-Izz
bin Abdussalam berkata, “Jika ada seseorang berada pada posisi setengah mampu
dan setengah tidak mampu maka ia hanya dibebani untuk melaksanakan setengah
yang mampu ia laksanakan dan gugurlah kewajiban setengah lain yang di luar
kemampuannya.”
Kedua penulis juga mengutip
perkataan Imam Al-Ghazali, “Salah satu syarat
pelaksanaan amar makruf nahi mungkar adalah kemampuan untuk melaksanakannya.
Jika seseorang melihat kemungkaran lalu ia hanya mampu mengingkarinya, tanpa
bisa berbuat apa-apa maka ia cukup membenci kemungkaran tersebut dengan hatinya karena barang siapa mencintai Allah maka ia pasti
membenci kemungkaran/kemaksiatan dan mengingkarinya.” Imam Al-Ghazali juga menambahkan, “Contoh ketidakmampuan adalah jika seseorang
mengetahui bahwa jika ia menegur suatu
kemungkaran maka kemungkaran itu akan tetap berlanjut dan mungkin justeru akan menimbulkan kemungkaran yang lain. Dalam hal ini, yang bersangkutan tidak wajib menegakkan nahi
mungkar. Bahkan, dalam keadaan tertentu penegakan nahi mungkar bisa diharamkan terhadapnya.” (hal.
128)
Oleh karena itu, setiap tindakan
yang bisa mneyakiti badan, mengurangi harta, atau tercederainya kehormatan maka sebisa mungkin dihindari.
Keadaan seperti itu menyebabkan gugurnya kewajiban seseorang dalam melaksanakan
amar makruf nahi mungkar. (hal. 130)
Kedua penulis lalu menyimpulkan
beberapa poin sebagai berikut:
- Beban kewajiban didasarkan
pada kemampuan sehingga jika seseorang tidak mampu melakukannya maka
gugurlah kewajiban yang ada.
- Kemampuan yang dimaksud
adalah kemampuan tanpa menimbulkan mudharat pada diri sendiri ataupun orang lain.
- Penegakan
nahi mungkar yang bisa menyakiti badan, mengurangi
harta, atau tercederainya
kehormatan dapat disebut sebagai salah satu bentuk ketidakmampuan.
- Ketidakmampuan bertindak
melalui tangan (kekuatan) atau lisan (larangan atau imbauan) tidak berarti
mengugurkan kewajiban untuk bertindak melalui hati (mengingkari dan
membenci).
- Kewajiban melakukan nahi
mungkar bisa gugur dengan tidak adanya kemampuan.
- Jika memang melihat
kemungkaran, tetapi benar-benar tidak mampu melakukan nahi mungkar maka
hukum nahi mungkar bisa menjadi haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar