Rabu, 15 Mei 2013

Gugur Kewajiban karena Lemah



Kedua penulis menerangkan bahwa amar makruf nahi mungkar bertujuan membuat kehidupan masyarakat lebih tertata. Dengan amar makruf nahi mungkar ini, diharapkan masyarakat dapat dijauhkan dari kerusakan dan mudharat. Karena itu, apabila penegakan amar makruf nahi mungkar justru mengundang unsur mudharat, baik pada pelaku maupun objek, maka penegakan amar makruf nahi mungkar ini justru bisa menjadi kebatilan. Al-Izz bin Abdussalam mengatakan, “Setiap tindakan kebaikan yang justru kontraproduktif terhadap kebaikan maka hukumnya tidak diperbolehkan.” Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga mengutarakan dalam kitab A’lamul Muqi’in, “Syariat Islam dibangun di atas fondasi kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia, yaitu keadilan dan kasih sayang. Karena itu, jika suatu tindakan justru membuat keadilan menjadi kezaliman, kasih sayang menjadi sebaliknya, kemaslahatan menjadi mudharat, atau dari kebijaksanaan menjadi kekerasan maka dapat dipastikan itu semua keluar dari ketentuan syariat.” (hal. 122)

Mengutip pernyataan Imam Quthubi, kedua penulis menjelaskan bahwa suatu beban kewajiban akan gugur bagi orang yang tidak mampu. Menurut Al-Alusi, kemampuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan melakukan sesuatu saat hendak melaksanakannya. Perintah syariat selalu memiliki kebijaksanaan atau hikmah tersendiri karena syariat tidak akan dibebankan kepada seseorang jika ia memang tidak mampu melakukannya. Allah Swt berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....” (QS. Al-Baqarah [2]: 286). Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan memerintahkan seseorang di luar batas kemampuannya.

Demikian pula amar makruf nahi mungkar, tidak akan dibebankan kepada orang yang tidak mampu melaksanakannya. Al-Izz bin Abdussalam berkata, “Jika ada seseorang berada pada posisi setengah mampu dan setengah tidak mampu maka ia hanya dibebani untuk melaksanakan setengah yang mampu ia laksanakan dan gugurlah kewajiban setengah lain yang di luar kemampuannya.”

Kedua penulis juga mengutip perkataan Imam Al-Ghazali, “Salah satu syarat pelaksanaan amar makruf nahi mungkar adalah kemampuan untuk melaksanakannya. Jika seseorang melihat kemungkaran lalu ia hanya mampu mengingkarinya, tanpa bisa berbuat apa-apa maka ia cukup membenci kemungkaran tersebut dengan hatinya karena barang siapa mencintai Allah maka ia pasti membenci kemungkaran/kemaksiatan dan mengingkarinya.” Imam Al-Ghazali juga menambahkan, “Contoh ketidakmampuan adalah jika seseorang mengetahui bahwa jika ia menegur suatu kemungkaran maka kemungkaran itu akan tetap berlanjut dan mungkin justeru akan menimbulkan kemungkaran yang lain. Dalam hal ini, yang bersangkutan tidak wajib menegakkan nahi mungkar. Bahkan, dalam keadaan tertentu penegakan nahi mungkar bisa diharamkan terhadapnya.” (hal. 128)

Oleh karena itu, setiap tindakan yang bisa mneyakiti badan, mengurangi harta, atau tercederainya kehormatan maka sebisa mungkin dihindari. Keadaan seperti itu menyebabkan gugurnya kewajiban seseorang dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar. (hal. 130)

Kedua penulis lalu menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
  1. Beban kewajiban didasarkan pada kemampuan sehingga jika seseorang tidak mampu melakukannya maka gugurlah kewajiban yang ada.
  2. Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan tanpa menimbulkan mudharat pada diri sendiri ataupun orang lain.
  3. Penegakan nahi mungkar yang bisa menyakiti badan, mengurangi harta, atau tercederainya kehormatan dapat disebut sebagai salah satu bentuk ketidakmampuan.
  4. Ketidakmampuan bertindak melalui tangan (kekuatan) atau lisan (larangan atau imbauan) tidak berarti mengugurkan kewajiban untuk bertindak melalui hati (mengingkari dan membenci).
  5. Kewajiban melakukan nahi mungkar bisa gugur dengan tidak adanya kemampuan.
  6. Jika memang melihat kemungkaran, tetapi benar-benar tidak mampu melakukan nahi mungkar maka hukum nahi mungkar bisa menjadi haram.
Di antara hal yang mengugurkan kewajiban penegakan nahi mungkar adalah kemungkinan adanya mudharat berupa tersebarnya fitnah di antara manusia atau tercerai-berainya persatuan kaum muslimin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar