Senin, 08 April 2013

AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR



Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dari hari ke hari. Upaya peningkatan kesejahteraan itu ditempuh dengan berbagai cara kreatif, dengan kompetisi ketat, bahkan adakalanya dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan aturan yang ada atau yang telah disepakati diterima sebagai kebaikan. Tidak sedikit aktivitas yang dilakukan seseorang ternyata mengganggu dan merugikan orang lain. Supaya ketertiban masyarakat berjalan dengan baik dan terpeliharanya hak-hak anggota masyarakat serta menghindari berbagai malapetaka kehidupan, maka diperlukan ada orang atau sekelompok orang yang selalu mengingatkan pada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang tidak baik. Aktivitas ini diperkenalkan oleh al-Qur'an sebagai “amar makruf nahi munkar” atau aktivitas mengajak atau menyuruh kepada kebaikan dan mencegah untuk melakukan kemungkaran.

Perintah Beramar Makruf Nahi Munkar
Ayat-ayat al-Qur'an yang secara eksplisit menggunakan istilah “amar makruf nahi munkar” ditemukan dalam beberapa tempat: QS. Ali Imran [3]: 104, 110, ll4; al-A'raf [7]: 157; at-Taubah [9]: 71, 112; al-Hajj [22]: 41; Luqman [31]: 17. Salah satu dari ayat itu yang dengan tegas memerintahkan untuk melakukan amar makruf nahi munkar adalah QS. Ali 'Imran [3]: 104. Sebagai berikut:





“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, rnenyuruh (berhuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” QS. Ali 'Imran [3]: 104)
Sebagian ulama tafsir memahami status perintah rnenyuruh berbuat baik dan mencegah herbuat buruk (beramar makruf dan nahi munkar) adalah fardhu kifayah (wajib sosial). Preposisi 'min' pada ayat tersebut menunjukkan arti sebagian (li at-tab'idli), yakni sebagian dari setiap komunitas harus rnelakukan aktivitas amar makruf nahi munkar. Mengapa tidak seluruhnya? Karena, seperti dijeiaskan az-Zamakhsyari, seseorang yang akan melakuKan aktivitas itu harus tahu yang mana makruf dan yang mana munkar, aan dia harus tahu prioritas-prioritas. Kalau tidak, jangan-jangan terbalik dengan rnenyuruh yang munkar dan mencegah yang makruf, bersikap tegas pada yang seharusnya lembut atau sebaliknya, atau wawasannya sangat terbatas lalu mencegah hal-hal yang sebenarnya bukan munkar karena hanya tak mengetahui perspektif pihak lain.[1]
Sementara itu ada juga yang memahami preposisi 'min' di situ sebagai penjelas (li at-tabyin) sehingga berimplikasi pada kewajiban setiap individu mukallaf rnelakukan amar makruf nahi munkar menurut kadar kemampuannya, baik dengan tangan (kekuasaan), perkataan (nasihat), maupun sekadar dalam hati.[2] Hal ini dipahami dari QS. Ali 'Imran [3]: 110 dan sebuah Hadits riwayat Muslim sebagai berikut:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) rnenyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. “

“Siapa diantara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah mengubahnya (menghentikannya) dengan tangan (kekuasaan) yang dia miliki. Kalau tidak mampu maka dengan lisannya, dan kalau tidak mampu juga maka dengan hatinya- svtforBan yang demikian itu termasuk selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Pelaksanaan taghyir al-munkar (pencegahan atau pengubahan kemungkaran) disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki tiap individu. Dalam Hadits di atas disebutkan beberapa alternatif yang bersifat prioritas. Dengan tangan apabila memiliki kemampuan untuk itu, atau kalau tak sanggup, maka dengan ucapan atau teguran lisan, dan apabila yang kedua ini juga tidak mampu dilakukan maka cukup dengan pernyataan ketidaksukaannya di dalarn hati. Mendiamkan, dalam arti 'cuek sama sekali' (bersikap permisif) bahkan mungkin memberi dukungan tentu bukan sikap orang beriman. Ibrahim al-Matbuli, sebagaimana dikutip Muhammad Ali al-Bakri, menjelaskan bahwa mengubah kemungkaran dengan tangan adalah tugas para penguasa dan jajarannya. Sedangkan dengan teguran (ucapan) meiupakan tugas para ulama, dan dengan hati adalah mereka yang memiliki nurani.[3] Hal ini akan dibahas lebih lanjut setelah penjelasan tentang berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam beram ir makruf dan nahi munkar.

Realitas dalam Masyarakat
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk baik, ia diciptakan dalam keadaan sempurna, serba seimbang, memiliki akal dan nafsu sekaligus yang tak dimiliki oleh makhluk lain. Tapi, kemudian ada yang tak memfungsikan akalnya sehingga yang menguasai dirinya adalah nafsu, menyebabkan martabatnya meluncur ke bawah garis hewan melata. Orang-orang seperti ini selalu kita jumpai di lingkungan atau di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kejahatan dan kemungkaran sudah ada seumur dengan manusia itu sendiri. Sponsor utamanya adalah lblis. Karena sponsor utama ini memang mendapat legalisasi untuk menggoda (bukan memaksa) anak cucu Adam untuk mengerjakan kejahatan dan kemungkaran dari berbagai sisi maka kejahatan dan kemungkaran tetap akan ada.v Legalisasi itu misalnya kita jumpai dalam Surah al-A'raf [7]: 16-17:

“(lblis) berkata, 'Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka (manusia) darijalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”
Pernyataan di akhir ayat itu (“... dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”) menunjukkan bahwa tidak sedikit di antara manusia yang terbawa oleh godaan lblis dan kawan-kawannya. Hanya mereka yang konsisten dalam keikhlasannya menjalankan perintah sesuai petunjuk Allah sajalah yang tidak rentan terhadap godaan-Lblis dan kawan-kawannya untuk berbuat jahat. Surah Shad [38]: 82-83 menjelaskan hal tersebut:

“(lblis) rnenjawab, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.”
Dalam catatan kaki Al-Qur'an dan Terjemahnya yang disusun oleh Tim Departemen Agama, 'al-mukhlashin' diberi makna orang-orang yang telah diberi taufik untuk menaati segala petunjuk dan perintah Allah.[4] Sebaliknya, orang-orang yang tidak konsisten dalam menjalankan perintah sesuai dengan petunjuk Allah tentu sangat rentan terhadap godaan berbuat kemungkaran. Kondisi nyata dalam masyarakat ini mengharuskan adanya amar makruf nahi munkar untuk mereduksi atau mencegah meluasnya kemungkaran itu dengan berbagai kemampuan yang dimiliki. Di sisi lain mengajak manusia untuk senantiasa berbuat baik dan konsisten dalam kebaikan itu sehingga tidak ada celah yang dapat dimasuki oleh godaan-godaan yang dapat mengantarkan kepada perbuatan kemungkaran.
Perintah untuk beramar makruf nahi munkar dengan gradasi berbeda dipahami oleh masyarakat secara berbeda pula. Setidaknya, ada tiga pemahaman masyarakat Islam dalam memahami dan mengamalkan perintah beramar makruf nahi munkar sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dan Hadits di atas: Kelompok pertama, melakukan amar makruf dan nahi munkar dengan paksaan dan kekerasan. KeloTnpok ini beranggapan bahwa tingkatan paling tinggi dalam melakukan amar makruf dan nahi munkar adalah dengan tangan (fisik), sehingga kegiatan yang bersifat eksplosif terutama untuk mehakut-nakuti orang lain agar tidak melakukan hal yang sama perlu dengan paksaan dan kekerasan. Akibat dari pemahaman ini kita jumpai dalam masyarakat ada perorangan atau lembaga yang bertindak bagai penegak hukum dengan merazia dan merusak area yang dianggap sebagai wilayah tempat kemungkaran Atau, memaksa orang lain untuk melakukan ibadah tertentu sebagai manifestasi dari amar makruf dengan tangan. Orang yang tidak shalat dipaksa pergi ke masjid, yang tidak puasa dipaksa untuk puasa, pendek kata memaksa orang lain menjalankan ajaran agarna di bawah ancaman. Tanpa menyudutkan kelompok-kelompok tertentu, ada di antara kelompok ini yang melakukan nahi munkar dengan kemungkaran baru.
Kelompok kedua, orang yang melakukan amar makruf dan nahi munkar didasarkan pada kedudukar. dan fungsinya dalam masyarakat. Atau lebih mudahnya, kelompok ini selalu melihat hubungan antara pelaku dengan penganjur amar makruf nahi munkar. Fungsi pemimpin s.ruktural atau fungsional dalam masyarakat mengharuskan beramar makruf nahi munkar berdasarkan
kekuasaan yang dimiliki masing-masing. Ia harus menggunakan fungsi dan kewenangannya untuk beramar makruf nahi munkar pada bawahan atau kelompok yang menjadi tanggung jawabnya. Sementara itu, bagi seorang ilmuwan, akademisi, praktisi, dan sejenisnya melakukannya dengan lisan atau tulisan untuk menggugah orang lain melakukan kebaikan dan mencegah dirinya dan orang lain dari perbuatan munkar. Sedangkan bagi orang awam minimal dengan hati, yaitu ada getaran ketidaksenangan terhadap perbuatan mungkar yang dilakukan orang lain. Tidak ada lagi tingkatan di bawah ini karena hal itu menandakan ketiadaan iman di dalam sanubari orang itu.
Kelompok ketiga, yaitu orang yang tidak mau peduli dengan peningkatan kualitas dan kuantitas kebaikan seseorang dengan menjadi penganjur kepada yarg makruf dan melarang atau mencegah perbuatan munkar yang dilakukan orang lain. Orang yang dikategorikan dalam kelompok ketiga, lebih tepat disebut sebagai orang-orang apatis atau orang-orang yang sangat permisif terhadap pentingnya amar makruf dan nahi munkar. Ciri orang yang berada dalam kategori ini adalah selalu bersikap masa bodoh terhadap lingkungannya, baik untuk perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Lebih mengutamakan kesalehan individual daripada kesalehan sosial. Lebih mementingkan penyelamatan diri sendiri daripada penyelamatan umat.



26 Az-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim Mahmud ibn 'Amr ibn Ahmad, al-Kasysyaf, Juz 1, h. 307.
[2] Al-Khazin, Abu al-Hasan 'Alauddin Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn 'Umar asy-Syaihi, Lubab at-Ta'wil fi Ma'ani . t-Tanztt, Juz 1, h. 434.

[3] Muhammad Ali ibn Muhammad Shiddiqi, Dalil al-FaUhin li Thuruq Riyadh ash- Shalihin, Juz 2, h. 162.

[4] Al-Qur'an dan Terjemahnya, catatan kaki 755.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar