Kemungkaran bisa terjadi di
mana saja terutama apabila ada peluang dan ada potensi pada individu untuk
melakukannya. Kemungkaran tidak dapat dihapuskan sama sekali di muka bumi
karena hal itu menjadi bagian dari ujian keimanan bagi umat manusia. Bagi
setiap individu Muslim, wajib hukumnya mencegah timbulnya atau berlanjutnya
sebuah kemungkaran. Istilah nahi munkar mengandung dua pengertian. Pertama, berupaya
agar tidak muncul kemungkaran dengan menutup rapat potensi-potensi yang
memungkinkan terjadinya kemungkaran itu. Kedua, apabila sudah terjadi
maka ada dua kemungkinan yang harus dilakukan, yaitu menghentikan atau
mengubahnya dengan hal lain yang makruf. Dalam bahasa 'Athiyah ibn Muhammad
Salim;
…………………………………………………………………………………………………………….[1]
"Mengubah
kemungkaran dapat dilakukan dengan dua cara, bisa dengan menghentikan, dan bisa
pula dengan menggantinya dengan sesuatu yang makruf."
Makna kedua inilah yang akan
dibahas terinci dalam tulisan ini karena sering disalahpahmi oleh sementara
orang. Istilah yang digunakan merujuk pada Hadits yang disebut pada awal
tulisan ini adalah "taghyirul munkar" dengan dua makna:
menghentikan dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lain yang makruf. Sebagian
ulama memahami bahwa pada taghyirul munkar itu sejatinya juga terkandung
makna mencegah potensi terjadinya kemungkaran, yaitu mengubah sesuatu yang
berpotensi menjadi tidak berpotensi pada kemungkaran, sehingga pemahaman ini
tak membedakan antara taghyirul munkar dengan istilah nahi munkar,
keduanya sama. Yang mana pun dipilih, substansinya adalah bagaimana mencegah
terjadinya kemungkaran itu dan bila terjadi bagaimana menghentikannya sehingga
tidak berlanjut atau semakin berkembang, dengan berbagai cara dan kemampuan
yang dimiliki.
Ketentuan
yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan melakukan nahi munkar (taghyirul
munkar) adalah:[2]
1. Didasari oleh iman yang sungguh-sungguh dalam rangka memperoleh
ridha Allah, bukan karena tujuan lain semisal interes pribadi, faktor etnis,
kelompok, dan sebagainya.
2. Sesuai dengan petunjuk al-Qur'an dan as-Sunnah, karena setiap amal
saleh harus berlandaskan pada niat yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk kedua
sumber itu.
3. Menggunakan cara yang bertingkat-tingkat sesuai dengan intensitas
kemungkaran itu dengan tetap mendahulukan hikmah, kasih sayang dan lemah
lembut. Banyak sekali contoh yang ditunjukkan Rasulullah saw. dalam hal ini,
misalnya bagaimana perlakuan beliau terhadap seseorang yang kencing di sudut
masjid karena ketidaktahuannya. Di sisi lain, beliau juga tegas dalam penegakan
hukum tanpa pandang bulu, seperti ucapan dan tindakannya dalam penegakan hukum
pada kasus pencurian, beliau berdiri dan berkhotbah, penggalannya sebagai
berikut:
"Adapun
sesudahnya, sungguh telah hancur umat manusia sebelum kamu karena mereka (tidak
menegakkan hukum dengan adil), apabila yang mencuri para pembesarnya maka hukum
diabaikan, tetapi apabila yang melakukannya orang kecil dan lemah hukum
dijalankan. Demi Allah yang jiwa Muhammad ditangan-Nya, andaikata Fatimah
anaknya Muhammdd yang mencuri pasti aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Persoalan yang sering muncul adalah ketika pemaknaan nahi munkar (taghyirul
munkar) dimaknai atau diidentikkan dengan pedang, pentungan, senjata api,
dan semacamnya. Padahal, seperti dikatakan oleh Dr. Mahmud Taufiq, mengubah
atau mencegah kemungkaran bukanlah dengan demonstrasi unjuk kekuatan dengan
membawa pedang, pentungan, dan senjata lainnya, tetapi dapat dilakukan dengan
berbagai cara lain dan bentuk-bentuk yang elegan.[3]
Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan tingkatan atau cara melakukan aktivitas nahi
munkar (taghyirul munkar) dengan tangan (kekuasaan), ucapan (nasihat),
dan dengan hati.
Pencegahan dengan tangan yang menjadi wilayah orang yang memiliki
kekuasaan seperti pemerintah kepada rakyatnya, atasan kepada bawahannya, guru
kepada muridnya, orang tua kepada anaknya, dan seterusnya dapat dilakukan
dengan pendekatan yang berbeda:
a. ayah kepada anaknya atau suami kepada istrinya cukup langsung
dilakukan pencegahan saat ia mengetahui kemungkaran itu terjadi dan membuanj
atau menjauhkan instrumen yang dijadikan alat perbuatan mungkar jika ada.
b. Wilayah publik, yaitu wilayah yang melibatkan orang banyak yang
mungkin berlatar belakang berbeda-beda maka pendekatannya pun hams berbeda
bergantung pada banyak hal, misalnya kewajiban pencegahan ada pada yang
memiliki otoritas secara beijenjang, intensitas dampak bahaya yang ditimbulkan
bagi masyarakat, tingkat pengetahuan kedua pihak (yang berbuat mungkar dan yang
mencegahnya), termasuk efek yang mungkin timbul akibat dari pencegahan itu.
Aktivitas
nahi munkar (taghyirul munkar) dengan lisan atau ucapan (ada yang
memasukkan, tulisan) merupakan tingkat kedua di bawah pencegahan dengan
kekuasaan. Ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam kategori pencegahan
dengan lisan, antara lain:[4]
1. Menyampaikan, mengusulkan, mendesak kepada pihak berwenang (orang
yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam wilayah tertentu) untuk
menghentikan atau mengubah kemungkaran dengan tangan (kekuasaan) yang
dimilikinya.
2. Mengingatkan akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh kemungkaran
itu dengan misalnya membacakan ayat-ayat tentang azab Allah.
3. Menyebarkan sebab-sebab potensial yang dapat menimbulkan
kemungkaran, termasuk akibatnya dalam kehidupan masyarakat, dan cara-cara
memelihara diri dari hal itu, baik dalam bentuk verbal maupun tulisan
(grafiti).
4. Menceritakan sejarah timbuinya Kerusakan yang terjadi di bumi
akibat orang-orang yang berbuat kemungkaran dengan harapan tidak diulangi
peristiwa itu.
5. Mendoakan pelaku munkar agar mendapatkan hidayah, kembali ke jalan
yang benar, agar masyarakat terselamatkan.
Sementara itu, melakukan aktivitas
nahi munkar (taghyirul munkar) dengan hati (qalbu) lebih bermakna
sebagai ketidaksukaan terhadap perbuatan munkar, bukan pencegahan dalam arti
sebenarnya, karena tak ada tindakan atau ucapan yang menjadi indikator
pencegahan. Akan tetapi, hal ini penting untuk memberi koridor bagi orang yang
tak mampu melakukan pencegahan munkar dengan tangan dan lisannya. Dengan
demikian, tidak ada seorang Muslim pun yang tidak mampu melakukan pencegahan
kemungkaran, walaupun hanya dengan hati, karena ketidakmampuannya dengan cara
lain. Bagaimana caranya? Paling minim adalah adanya terbetik dalam hati (kata
hati) bahwa perbuatan munkar yang dilihatnya adalah perbuatan buruk, perbuatan
yang tak pantas dilakukan oleh orang beriman. Lebih baik jika dia menunjukkan
ketidaksenangan dalam hatinya lalu diekspresikan pada raut muka terhadap
perbuatan munkar yang disaksikannya termasuk pada pelakunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar