Harus diakui
bahwa Islam membenarkan peperangan dalam rangka membela diri dan membela
kebenaran, serta mengelakkan penganiayaan, atau dengan kata lain untuk meraih
rasa aman dan damai bagi semua pihak. Tetapi, yang pertama perlu digarisbawahi
adalah bahwa sifat dasar kaum beriman adalah tidak menyukai perang. Ini
ditegaskan oleh al-Qur'an ketika berbicara tentang kewajiban berperang, demi tegaknya
keadilan dan perdamaian, Allah berfirman:
"Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu tidak
senangi. (Tapi) boleh jadi kamu menyenangi sesuatu, padahal ia baik bagi kamu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padchal ia buruk bagi kamu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Sekali lagi, peperangan dibenarkan bila tidak ada lagi jalan lain
untuk menghindarkan penganiayaan dan memantapkan keamanan kecuali dengan
perang. Karena itu, bila peperangan terjadi maka semua yang tidak terlibat hams
dipelihara. Anak-anak dan perempuan harus dilindungi, pepohonan jangan
ditebang, lingkungan jangan dirusak.
Perang juga harus dihentikan begitu penganiayaan terhenti.
"Dan
perangilah mereka itu, (yang sehingga tidak ada lagifitnah dan (sehingga)
ketaatan hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi
kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yangzalim
(QS. al-Baqarah [2]: 193)
Yang dimaksud dengan "ketaatan hanya
semata-mata untuk Allah" adalah bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus
ditaati, antara lain memberi kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan
mengamalkan agama dan kepercayaannya karena masing-masing akan
mempertanggungjawabkannya sesuai firman-Nya lakum
dinukum wa liya dm (QS. al-Kafirun [109]: 6)
Yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim dalam ayat ini mencakup orang-orang kafir yang terus melakukan
agresi, dan juga kaum Muslim yang melanggar tuntunan penghentian permusuhan
itu. Dan jika itu terjadi, maka Allah akan membiarkan mereka dilanda agresi dan
permusuhan melalui apa atau siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Al-Qur'an juga mengingatkan bahwa jika ada ajakan damai, dari
siapa pun maka ajakan itu harus disambut:
"Dan
jika merek i condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah YangMaha Mendengar lagiMaha
Mengetahui". (QS. al-Anfal [8]: 61)
Ayat ini menunjukkan bahwa kaum kafir pun memperoleh rasa aman,
namun tentu saja rasa aman yang sempurna dirasakan oleh orang-orang Mukmin.
"Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampurkan keimanannya dengan kezaliman/syirik, mereka
itulah yang mendapatkan keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat
petunjuk". (QS. al-An'am [6]: 82)
Sejalan dengan ini, seeorang yang meneladani sifat Allah, as-salam, paling tidak, bila tidak dapat
memberi manfaat kepada selainnya, maka jangan sampai dia mencelakakannya, kalau
dia tidak dapat memasukkan rasa gembira ke dalam hatinya, maka paling tidak jangan
ia meresahkannya, kalau dia tidak dapat memujinya, maka paling tidak dia jangan
mencelanya.
Jangankan terhadap yang tidak berbuat baik, terhadap vang yang
berbuat jahil pun al-Qur'an menganjurkan agar diberikan kepadanya "saldm" karena demikian itulah sifat
hamba-hamba Allah yang Rahman:
Hamba-hamba
Allah yang Maha Pengasih ialah mereka. yang berjalan dibumi dengan rendah hati,
dan apabila orang-orang jahil menyapa (memperlakukan mereka dengan kejahilan)
mereka berkata saldma (yaknibersikap damaidan mencarikeselamatan
bersama)". (QS. al-Furqan [25]: 63)
Sikap itu yang
diambilnya karena al-salam/keselamatan adalah batas antara
keharmonisan/kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan.
Inilah yang paling wajar atau batas mainimal yang diterima seorang jahil dari
hamba Allah yang Rahman, atau si penjahat dari seorang yang Muslim, atau yang
meneladani Allah yang memiliki sifat al-Mu'min (Pemberi rasa
aman). Itu dilakukannya dalam rangka menghindari kejahilan yang
lebih besar atau menanti waktu untuk lahirnya kemampuan mencegahnya. Demikian, Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar