Minggu, 07 April 2013

HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM



Islam adalah agama pembawa rahmat dan berwatak toleran.  Ia sangat mendambakan keadilan dan kedamaian serta menjunjung tinggi kemuliaan dan kebebasan manusia.  Dan, ini bukanlah slogan kosong tanpa bukti, melainkan prinsip dasar yang inheren dalam rancang-bangun Islam.
                   
            Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, Allah set. mengutus rasul-Nya, Muhammad saw. sebagai “rahmat bagi semesta alam.[1] Nabi Muhammad saw. sendiri menyatakan tujuan risalah Islam yang dibawanya sebagai, “Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”[2] Islam juga memberikan kepada manusia kebebasan menetukan pilihan, bahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) sekalipun.  Allah swt. berfirman:

            “ Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al-Kahfi [18]: 29)

            Oleh karenanya, dakwah dalam Islam harus didasari atas, dan didorong oleh, penerimaan secara sadar yang dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, atau berdebat secara lebih baik, argumentatif dan objektif bukan berdasarkan paksaan dan tekanan.[3] Demikian pula, Islam sangat menganjurkan sikap adil dan ihsân, mengecam smeua bnetuk perbuatan keji danmunkar, serta upaya-upaya destruktif di atas muka bumi.[4] Oleh karena itu, sangat tidak logis bila Islam yang memerintahkan para pengikutnya utnuk bersikap saling mengasihi antarsesama manusia dan semua makhluk hidup, akan memerintahkan perang yang terus-menerus terhadap non-Muslim hanya karena perbedaan akidah.[5]

Islam dan Toleransi Agama

Dalam Islam, kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapat jaminan yang jelas dan pasti.  Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an telah secara jelas dan tegas menyatakan, “Lâ ikrâha fi and-dîn” [Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)].[6] Di sini, Islam melarang secara tegas berbagai bentuk pemaksaan untuk menganut agama tertentu.  Kebebasan manusi adalam memilih agama dan keimanan merupakan prinsip paling fundamental dari ajaran akidah Islam.  Secara demikian, penegasan Al-Qur’an tentang kebebasan manusia untuk beriman atau kufur tanpa paksaan merupakan prinsip yang tidak lagi dapat ditawar.  “Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir,” demikian pernyataan Al-Qurân.[7]

            Hal ini karena masalah keimanan, keyakinan, dan keberagamaan agar benar dan dipercayai dengan yakin haruslah merupakan tindkan yang berdiri di atas, dan didasari oleh, penerimaan yang sadar, tulus dan tanpa paksaan.  Keimanan dan keyakinan yang hakiki tidak akan muncul jika landasannya adalah pemaksaan dan keterpaksaan.  Dengan kata lain, masalah keimanan adalah urusan dan komitme individuall, karenanya tak seorang pun dapat mencampuri dan memaksa komitmen individual ini.  Iman, sebagaimana ditekankan dalam teks dasar Islam dengan kata-kata yang jelas dan tak dapat diragukan, merupakan tindakan sukarela yang lahir dari keyakinan, ketulusan, dan kebebasan. [8]

Non-Muslim dalam Negara Islam
Jaminan Islam terhadap kebebasan beragama sebenarnya muncul dair pengakuan Islam atas kemajemukan atau pluralitas keberagamaan.[9]  Dalam praktiknya, jaminan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah saw. sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah.[10]  Dalam konstitusi tersebut, dijelaskan antara lain klausul tentang pengakuan eksistensi kaum Yahudi sebagai bagian dari kesatuan komunitas umat bersama kaum Muslimin di Madinah.[11]
            Bertolak dari kebebasan beragama yang dijamin oleh Islam ini pula, Khalifah II “Umar bin al-Khaththab memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Baitul Maqdis yang beragama Kristen.  “Bagi mereka jaminan keamanan atas kehidupan, gereja-gereja dan salib-salib mereka.  Mereka tidak boleh diganggu dan ditekan karena alasan agama dan keyakinan yang mereka anut, “demikian kebijakan dan jaminan ‘Umar bin al-Khaththab bagi umat non-Muslim dalam negara Islam.[12]




[1] QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107.
[2] Hadits riwayat Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad.
[3] Lihat: QS. An-Nahl [16]: 82 dan 125 al ‘Ankabût [29]: 18; Yâsin [36]: 17; asy-Syûrâ [42]: 48; dan al-Ghâsyiyah [88]: 22.
[4] Lihat: QS. Al-Nahl [16]: 90.
[5] Lihat: M.. Zaqzouq, Haqâ’iq al-Islâmiyyah fi Muwâjahat Hamalât al-Tasykîk, (Cairo: Maktabah al-Syurûq al-Dawiliyyah, 2004, h. 33.
[6] QS. Al-Baqarah [2]: 256.
[7] QS. Al-Kahf [18]: 29.
[8] Lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan al-Kahfi [18]: 29.
[9] Pengakuan ini terbaca, misalnya, melalui pernyataan al-Qur’an dalam surah al-Mâ’idah [5]:48: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.  Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja.  Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap apa yang telah diberikan kepadamu.  Maka, berlomba-lombalah dalam kebaikan.  Hanya kepada Allah-lah kamu semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa-apa yang telah kamu perselisihkan.”
[10] Kajian dan analisis menarik mengenai kandungan “Konstitusi Madinah” dapat dibaca, antara lain, dalam M.S. Al-‘Awwâ, Fî an-Nizhâm as-Siyâs li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, (Cairo: Dâr al-Syurûq, 1989), h. 50-64.
[11] Pada poin ini, al-‘Awwâ melihat bahwa ko-eksistensi antara kaum Yahudi dan kaum Muslim, sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah, erat kaitannya dengan konsep Islam tentang kewarganegaraan dalam sebuah Negara (al-muwâthanah) (Fî an-Nizhâm as-Siyâsi li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, h. 55.  Bandingkan: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lû Dzimmiyyûn: Mawqi’ Ghair al-Muslimîn fî Mujtama’ Muslimîn, (Cario: Dâr asy-Syurûq, 1990), cet, 2, h. 124.
[12] Pernyataan ‘Umar bin al-Khaththab yang sangat populer ini dapat dilihat, antara lain, dalam al-Thabarî, Târîkh al-Thabarî, Maktabah Syâmilah, versi 2, 3/105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar