Sesungguhnya
segala puji bagi Allah. Kami memuji, meminta pertolongan, dan meminta
ampunan-Nya. Kami memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan
keburukan amal-amal kami. Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Allah dan bahwasanya Muhammad utusan dan Rasulnya. Beliau
sebaik-baik manusia dan imam orang-orang yang bertakwa.
Tidak ada musibah yang besar yang menimpa umat Islam seperti musibah suka mengafirkan yang
bersarang di akal sebagian kelompok Muslim. Mereka mengafirkan sesame kaum muslimin
tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Dari sana mereka menghalalkan
darah dan harta kaum muslimin tanpa bukti yang jelas, argumen agama yang kuat, atau rujukan pendapat dari para ulama salaf.
Dalam waktu yang sama mereka bukanlah orang-orang yang ahli di bidang agama.
Sesungguhnya yang ahli di bidang agama hanyalah para ulama tepercaya
yang bersenjatakan ilmu dan terlepas dari hawa nafsu.
Dalam hal ini kita mendapatkan mukjizat Nabi Saw yang mengherankan akal,
memuaskan jiwa, dan menepis awan kesamaran. Suatu ketika seseorang melakukan protes
kepada Nabi Saw dalam masalah pembagian rampasan perang yang dilakukan beliau. Ia
berkata, “Bersikap adillah wahai Muhammad, sesungguhnya kamu tidak bersikap
adil.” Rasulullah Saw menjawab, “Celaka
kamu, jika aku tidak adil, siapa lagi yang adil?” Umar bin Khathab Ra berkata, “Bukankah engkau akan
membunuhnya?” Beliau bersabda, “Tidak,
biarkanlah dia. Sesungguhnya dia akan memiliki kelompok yang bersikap ekstrem
dalam agama hingga mereka terlepas darinya laksana anak panah yang terlepas dari
busurnya.”[1]
Seolah Nabi Saw melihat fitnah-fitnah dan musibah-musibah yang akan
terjadi dalam umat beliau. Seolah beliau melihat masa depan umat ini dengan
bantuan cahaya Allah dan memperingatkan mereka dari apa yang akan terjadi
tersebut.
Apa yang disabdakan Rasul Saw tadi terbukti. Beberapa tahun setelah
beliau meninggal, muncullah kelompok Khawarij yang sifat-sifatnya pernah beliau
sebutkan. Beliau menyifati mereka,
يَدَعُوْنَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ وَيَقْتُلُوْنَ
أَهْلَ الْإِسْلاَمِ.
“Mereka membiarkan para penyembah berhala dan
membunuh orang-orang Islam.”
Beliau juga menyifati mereka,
يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يَكَادُ
يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ.
“Mereka membaca Al-Quran, tetapi tidak melewati tenggorokan mereka (tidak meresapi makna-maknanya).”
Beliau menyifati mereka,
تَحْقِرُوْنَ صَلاَتَكُمْ مَعَ
صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَأَعْمَالَكُمْ مَعَ أَعْمَالِهِمْ.
“Kalian menganggap remeh shalat kalian dibandingkan
dengan shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka dan amal kalian
dibandingkan dengan amal mereka.”
Beliau menyifati mereka,
يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ.
“Mereka terlepas dari agama seperti anak panah
terlepas dari busurnya.”[2]
Beliau menyifati mereka,
يَخْرُجُ
فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ
الْأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ.
“Di akhir zaman akan muncul suatu kaum yang muda
umurnya dan pendek akalnya, mereka mengatakan dengan ucapan sebaik-baik manusia
(Hadis Nabi Saw).”
Benarlah apa yang telah engkau sabdakan, wahai Rasul. Engkau telah
menyampaikan dengan sempurna, menasihati kami dengan nasihat yang paling baik
berkaitan dengan mereka, dan engkau memperingatkan kami dari mereka agar kami
tidak tertipu dengan banyaknya ibadah shalat, puasa dan lainnya yang mereka
lakukan.
Engkau telah menjelaskan kepada kami bahwa kerusakan pemikiran dan akidah
merusakkan segala sesuatu dan bahwa kerusakan akidah lebih berbahaya daripada
segala sesuatu, keselamatan akidah lebih penting daripada segala sesuatu dan
bahwa orang yang mendapat hidayah untuk memegang akidah Ahlussunnah wal-Jamaah,
telah mendapat petunjuk untuk meraih kebaikan yang agung.
Benarlah apa yang engkau sabdakan, wahai Rasulullah. Kami telah melihat
semua yang engkau peringatkan. Benarlah engkau memperingatkan kaum muslimin
dari mengkafirkan sesama saudara muslim. Engkau bersabda,
وَمَنْ قَذَفَ مُؤْمِناً بِكُفْرٍ فَهُوَ
كَقَاتِلِهِ.
“Barangsiapa menuduh orang mukmin dengan tuduhan
kafir, maka dia seperti orang yang membunuhnya.”[3]
Adakah peringatan yang lebih keras daripada ini? Rasulullah Saw telah
menganggap tuduhan kafir terhadap muslim tanpa ada bukti dan keadilan laksana
membunuh orang yang dituduh itu. Hal ini karena menuduh muslim dengan tuduhan
kafir, padahal orang yang dituduh lepas dari agamanya
atau kafir, merupakan pembunuhan karakter
secara psikologis. Tuduhan kafir ini menimpakan aib terhadap keluarga dan masyarakat ang bersangkutan. Permasalahannya bertambah parah ketika tuduhan kafir disusul dengan
perbuatan anarkis. Tuduhan dengan kata disusul tuduhan dengan peluru-peluru tembakan.
Barangsiapa yang telah mengkafirkan orang lain, maka ia telah menghalalkan
darah dan hartanya. Dengan ini ia menjadi siap untuk membunuhnya atau merampas
hartanya. Demikianlah setiap maksiat disusul dengan maksiat lain. Setiap dosa
disusul dengan dosa lain. Semua itu menimbulkan kekacauan dalam umat, merobek-robek
barisannya, mencerai-beraikan urusannya dan menjadikannya sasaran empuk bagi
musuh-musuh Islam.
Karena dampak-dampak yang buruk dari pengkafiran tersebut, Rasulullah Saw
bersabda,
“Barangsiapa yang berkata kepada sesama
saudaranya, ‘Wahai orang kafir,’ maka tuduhan ini kembali kepada salah satunya.
Jika apa yang dikatakan benar, tidak apa-apa; dan jika yang dikatakan tidak
benar, tuduhan itu kembali kepada dirinya.”[4]
Hal ini demi menutup rapat-rapat pintu kekacauan dan agar mengatakan
kepada setiap muslim, “Jika kamu mengkafirkan muslim tanpa dasar, tuduhan ini
kembali kepada dirimu, kamu akan merasakan gelas pahit yang kamu berikan kepada
sauaramu, dan kamu akan terjatuh ke dalam lubang sumur yang kamu gali untuk
saudaramu.”
Fenomena pengkafiran pernah muncul di
Mesir pada tahun 60-an di penjara perang. Di antara sebab-sebabnya yang paling
penting adalah kerasnya penyiksaan yang menimpa kelompok Ikhwanul Muslim di
penjara tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagi sebagian
mereka yang sepertinya tampak logis sesuai dengan kondisi kejiwaan dan pikiran mereka.
Pertanyaan pertama, ada apa dengan semua penyiksaan ini? Kenapa kami
(Ikhwanul Muslimin) disiksa dengan cara yang kejam seperti ini? Kejahatan apakah
yang kami lakukan?
Mereka menjawab sendiri pertanyaan itu, “Sesungguhnya satu-satunya kejahatan kami
adalah kami mengimani Allah sebagai Tuhan, Al-Quran sebagai undang-undang dan
Islam sebagai jalan hidup.”
Pertanyaan kedua, “Mereka yang menyiksa kami dan mencela kami, apakah
mereka muslim? Bagaimana mereka dianggap muslim, sementara pemimpin mereka
dalam suatu hari mengatakan, “Datangkan Tuhan kalian dan aku akan
menjatuhkannya ke dalam sampah!”
Sudah tentu, jawaban atas pertanyaan ini adalah mereka kafir!
Pertanyaan mereka ketiga, “Jika mereka kafir, bagaimana hukum para
pemimpin mereka yang mengeluarkan keputusan-keputusan dan di tangan mereka
kekuasaan perintah dan larangan?” Mereka cepat memberikan jawaban, “Mereka
pasti kafir.”
Setelah mereka puas dengan hasil ini, mereka beralih ke pertanyaan
keempat, “Rakyat yang menaati para pejabat itu dan tunduk kepada mereka,
bagaimana hukum mereka?” Jawaban mereka sudah siap, yaitu, “Sesungguhnya rakyat
yang rela dengan kafirnya para pejabat itu dan mengakuinya, mereka juga kafir. Barangsiapa
yang rela dengan kekafiaran, ia telah kafir.”
Dari sini, menyebarlah gelombang pengkafiran terhadap masyarakat secara
menyeluruh. Kelompok-kelompok masyarakat menjadi terbelah laksana bom yang
membelah. Setiap satu kelompok yang berselisih dengan kelompok yang lain dalam suatu
masalah, meskipun dalam masalah ilmu hukum Islam, mereka saling mengkafirkan.
Kemudian fenomena saling mengkafirkan menjadi sesuatu yang menyebar di
antara sesama muslim. Terkadang turun dan terkadang naik seperti gelombang. Setiap
kebebasan dakwah yang benar surut, menyebarlah pengkafiran dan setiap dakwah
yang benar naik, turunlah gelombang pengkafiran.
Kami menyampaikan sejarah tadi untuk menjelaskan akar masalah pengkafiran.
Seharusnya mereka menggunakan ayat yang paling agung tentang keadilan, meskipun
terhadap orang yang tidak kita sukai. Allah Swt berfirman,
“Dan janganlah kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah.
Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan” (Qs. Al-Mâ`idah [5]: 8).
Akan tetapi, kondisi kejiwaan manusia yang sedang ada dalam penjara
membuat banyak orang tidak mampu menggunakan ayat tadi karena menggunakannya
membutuhkan kesabaran yang besar. Bagaimana hal ini mungkin dilakukan orang
yang mengkafirkan orang yang berbuat buruk terhadapnya demi memuaskan hatinya
dan demi mengalahkan musuhnya meskipun dengan kata-kata.
Akan tetapi, karena penyakit pengkafiran merupakan bentuk ghuluw (ekstremitas) dalam beragama, bahkan dia
merupakan bentuk yang paling mengerikan berdasarkan sabda Rasulullah Saw
tentang Dzul Khuwaishirah,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِيِء هَذَا قَوْماً يَقْرَءُوْنَ
الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ الْإِسْلاَمِ وَيَدَعُوْنَ
أَهْلَ الْأَوْثَانِ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الْإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْم مِنَ
الرَّمِيَّةِ لئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ.
“Sesungguhnya dari asal orang ini akan muncul suatu
kaum yang membaca Al-Quran, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka
membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Mereka terlepas dari
Islam seperti anak panah terlepas dari busurnya. Sungguh jika aku menemukan
mereka, aku akan membunuh mereka seperti pembunuhan kaum Ad.”[5]
Oleh karena itulah, kami tidak membahas sikap ekstremitas dalam
agama secara umum. Kami akan membahas sebagian sebab-sebab ekstremitas dalam
agama, kemudian kami membahas fenomena-fenomenanya. Hal ini agar sebagian orang
tidak mempunyai pemahaman bahwa agama tersia-sia dengan sikap yang berlebihan
saja. Kami menulisnya sebagai pengantar untuk membantah kebiasaan
pengkafiran terhadap kaum muslimin sebab maksiat, kemudian membantah
pengkafiran terhadap orang-orang bodoh. Kami juga membahas sikap ekstremitas dalam
mengkafirkan kaum muslimin sebab menjalin hubungan baik secara lahir dengan
orang kafir. Begitu juga mengkafirkan kaum muslimin yang menjadi pegawai di
pemerintahan hanya karena mereka pegawai pemerintah. Kemudian kami membahas
hubungan kesetiaan yang dilarang dan hubungan kesetiaan yang diperbolehkan,
karena dalam masalah ini banyak orang yang mengalami kesalahan.
Dalam studi ini kami berusaha untuk menetapkan akidah Ahlussunah
wal-Jamaah dengan didukung dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah serta
pendapat para ulama salaf. Kami memohon kepada Allah agar menerima usaha kami
ini dan mengampuni kekeliruan di dalamnya. Jika ada kebaikan dan kebenaran di
dalamnya, itu dari Allah semata dan jika ada cacat dan kesalahan, itu dari diri
kami. Kami memohon perlindungan kepada Allah kejahatan diri kami.
"Ya Tuhan kami, terimalah
(amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (Qs. Al-Baqarah [2]:
127).
[1]
HR. Bukhari, nomor 3414 dan Muslim,
nomor 1064.
[2]
HR. Bukhari, nomor 6531 dan Muslim,
nomor 1066.
[3]
HR. Tirmidzi, nomor 2636 dari Tsabit
bin Dhahhak. Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Albani.
[4]
HR. Bukhari, nomor 5753 dan Muslim,
nomor 60 dari Abdullah bin Umar Ra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar